Rabu, 29 Oktober 2014

Analisis Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Markesot Bertutur Karya Emha Ainun Najib Melalui Pendekatan Sosiologi Sastra : Kajian Filsafat Positivisme

Muhamad Abdullah Wahab
1211503079
Filsafat Ilmu UTS


BAB I
1.1  Latar Belakang
Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, yang digantikan oleh hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia sendiri yang sangat egoistis dan mengandung nilai egoistis yang besar, sehinggan kitapun merasakan betapa banyaknya bencana yang melanda diri kita. Etikaa hubungan kita yang humanis dengan tiga komponen relasional hidup kita sudah terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap hidup kita di masa datang akan menjadi harmonis dengan alam.
Dewasa ini terdapat perhatian yang sangat besar terhadap filsafat ilmu. Perkembangan cepat dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yangsemakin besarterhadap kehidupan masyarakat. Filsafat ilmu ialah penyelidikan terhadap ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan suatu penyelidikan lanjutan.
Sampai saat ini sejarah tentang filsafat ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenagan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan takhayul. Dan dari ilmuwan kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna bagi hidup manusia. Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam penyelidikannya hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan ini merupakan produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.
Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakan setipa pengetahuan yang seringkali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipungkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang meletakan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.
Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal sebagaii bapak Sosiologi, logico – positivisme yang juga digagas olehnya, merupakan metode epistemologi yang di dalamnya terdapat langkah-langkah progresinya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi mendapat apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu  sosial. Penulis akan membahas sosiologi sastra pada makalah ini serta kaitananya dengan analisis kritik sosial dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur karya Emha Ainun Najib.
Sosiologi sastra merupakan teori sastra yang lahir di zaman positivisme. Sosiologi sastra sebagai suaut jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda dari pada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian keterkaitan resiprokal degan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakt tersebut (Soemanto, 1993; Levin,1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan kelimuwan dalam menangani objek sasarannya. Sosiologi sastra sendiri lahir ketika Auguste Comte pada tahun 1838 mengusulkan suau cabang ilmu yang mengkaji tentang aturan mengenai dan tentang masyarakat (Wrong, 2008:1).
Perkembangan yang lebih serius di dalam studi sosiologi ke bidang sastra dicetuskan oleh Hippolyte Taine. Ia mengeluarkan doktrinnnya yang terkenal mengenai keterjaitan sastra dengan masyarakat. Taine meyakini bahwa suatu karya muncul hanya dalam konteks sosial tertentu, sebagai bagian dari kebudayaan, di dalam kondisitertentu, Taine merumuskan tiga hal yang menjadi faktor penetu kekhasan sebuah karya: race (ras), milieu (kondisi sekitar), dan moment (momen) (dalam Escarpit, 2005; 6 Wellek dan Warren, 1970: 105). Baginya, sastra bukan hanya permainan imajinasi seorang pengarang, namun merupaka rekaman ciri khas suatu jaman. Masih menurut Tane, setiap jaman memiliki gagasan-gagasan yang dominan dan juga pola intelektual yang khas yang membedakannya dengan jaman yang lainnya yang tampak terlihat pada karya-karya sastra (Damono, 1978: 19 – 22).
Proses kreatif yang dilakukan pengarang melalui karya sastra sangat mungkin terinspirasi dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Menurut Plato (dalam Ratna, 2013:4), karya seni semata-mata merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide. Dengan kata lain, sastra merupakan tiruan dari tiruan. Meminjam istilah Wellek dan Warren (2014:98), sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Kenyataan sosial yang terkandung dalam karya sastra biasanya melukiskan tentang kondisi sosial suatu masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis.
Wellek dan Warren (2014:98) mendefinisikan bahwa sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Peran bahasa dalam karya sastra sungguh penting, sebab hal ini akan menjadi pembeda antara karya sastra dengan koran, karya sastra dengan resep makanan. Bahasa dalam karya sastra berfungsi sebagai simbol yang mewakili sesuatu. Hal ini berkaitan dengan teori strukturalisme yang diusung oleh Ferdinand de Saussure. Salah satu konsepnya yang menarik yaitu mengenai tanda. Saussure membagi istilah tanda bahasa ke dalam tiga istilah, yakni tanda bahasa (sign), penanda (signifier), dan petanda (signified). Signifier merupakan bunyi yang memiliki makna dan juga gambaran atau tulisan. Signifier tidak akan bermakna tanpa signifiant karena akan sukar untuk menangkap makna. Jadi, secara umum bahasa dalam karya sastra memberikan simbol dalam menyajikan kehidupan nyata.
Pengarang dalam menyampaikan paham, ideologi dan pemikirannya menggunakan sastra sebagai medianya. Karya sastra tersebut dapat berbentuk prosa, drama, atau puisi. Ketiga hak tersebut dikategorikan sebagai karya sastra bersifat fiksi. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan seksama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan (Nurgiyantoro, 2013:3).
Pengungkapan ide pengarang lewat novel tentu akan berbeda dengan pengungkapan lewat drama. Demikian juga halnya pengungkapan dengan cerita pendek atau cerpen. Cerpen merupakan bentuk karya sastra yang seklaigus disebut fiksi. Nurgiyantoro (2013:12) menjelaskan bahwa cerpen memiliki karakteristik pemadatan pemusatan terhadap sesuatu yang dikisahkan. Jadi, cerita tidak mengakar atau bercabang-cabang, namun fokus terhadap tema yang diusung oleh cerpen tersebut.
Cerpen “Markesot Bertutur” merupakan cerpen yang mengandung nilai-nilai kemasyarakatan yang kuat berserta kritikan terhadap pemerintah pada masa orde baru. Kehidupan masyarakat ditulis berdasarkan fenomena kehidupan sosial masyarakat pada masa itu. Misal saja, pembangunan waduk, hingga persoalan sosial lainnya seperti SDSB dan korupsi yang tak terselesaikan.
Dalam kumpulan cerpen ini Emha Ainun Najib mengisahkan tokoh utama yang bernama Markesot. Tokoh Markesot bagi Emha Ainun Najib merupakan kisah masa lalunya saat masih berusia belia. Membuat kritik sosial kemasyarakatan melalui tokoh Markesot, hal itulah yang dilakukan Emha Ainun Najib sehingga tokoh Markesot adalah wakilnya dalam menyampaikan pesan moral kepada masyarakat, khususnya pembaca.
Penelitian semacam ini telah banyak dilakukan oleh para peneliti terhadap berbagai macam dan bentuk karya sastra, namun penulis mengambil sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Rozaenah (2012) terhadap cerpen “Gus Jakfar”. Dalam penelitiannya, ia menggunakan pendekatan sosiologi sastra dimana ia mengaitkan cerpen “Gus Jakfar” dengan kehidupan pesantren Jawa dan masyarakat Islam Indonesia.
1.1  Beberapa masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini yakni sebagai berikut :
1.1.1        Apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Markesot Bertutur” ?
1.1.2        Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat pada zaman Orde Baru?
1.1.3        Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas masyarakat zaman Orde Baru?

1.2  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.3.1        Untuk mengetahui faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Markesot Bertutur”.
1.3.2        Untuk mengetahui realitas sosial yang ada dalam masyarakat pada zaman Orde Baru.
1.3.3        Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas masyarakat zaman Orde Baru.









BAB II
LANDASAN TEORI
Analisis ini berdasarkan pada pendekatan sosiologi sastra yang menyatakan adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai bentuk cerminan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan pengarang merupakan bagian dari masyarakat dan karya sastra yang dihasilkannya menampilkan kondisi masyarakatnya. Sesungguhnya kedua ilmu memliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat (Ratna, 2013:2).
Wellek dan Warren (2014:100) mengklasifikasi telaah dengan pendekatan sosiologi sastra. Klasifikasi pertama adalah sosiologi pengarang yang membicarakan latar belakang sosial, stsaus pengarang, ekonomi produksi sastra, dan ideologi pengarang. Klasifikasi kedua adalah sosiologi sastra yang mengenai isi karya sastra, tujuan, dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial. Klasifikasi ketiga adalah sosiologi pembaca yang menyangkut dampak sastra terhadap masyarakat.
Melalui sosiologi sastra, pengarang berusaha memindahkan kenyataan hidup sehari-hari ke dalam tulisan berbentuk fiksi-imajinatif. Kenyataan yang ada pada sastra bersifat interpretatif subjektif, artinya kenyataan dalam karya sastra akan menjadi contoh bagi masyarakat pembaca sehingga masyarakat dapat menyadari keberadaannya di dalam karya sastra. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan yang sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya (Ratna, 2013:7).
Karya sastra yang diciptakan oleh pengarangnya bisa jadi akan mengangkat masalah atau konflik yang ada di dalam masyarakat. Kritik sosial yang disampaikan oleh Cak Nun dalam cerpen-cerpennya tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan sebuah karya sastra sebagai cermin masyarakat. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial (Nurgiantoro, 2014:455). Selain itu, kritik sosial yang disampaikan pengarang dalam karya sastra mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2014:456). Begitupun dengan cerpen-cerpen Cak Nun, ada beberapa perisitiwa aktual yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang dikritik Cak Nun.
Sastra menampilkan pesan kritik, menurut Nurgiyantoro (2014:456) dalam penyampaiannya dapat disebut sebagai sastra kritik. Sastra kritik—biasanya akan lahir ditengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur dapat ditemukan kritik yang disampaikan Cak Nun terhadap pemerintah masa Orde Baru.
Seperti yang telah disebutkan dalam tujuan penelitian, penulis akan menganalisis unsur intrinsik cerpen-cerpen dalam Markesot Bertutur yang dibatasi pada tema dan tokoh. Pengertian tema dalam diambil dari Burhan Nurgiantoro. Menurut Nurgiantoro (2014:115) tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motiif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.
Pengertian tokoh dalam penelitian ini diambil dari Abrams yang dikutip Nurgiantoro. Tokoh cerita (character), menurut Abrams yang dikutip Nurgiantoro (2014:247), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.











BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pengantar
Bab ini merupakan bagian inti penelitian yang berisi pembahasan kritik sosial dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur karya Emha Ainun Najib. Dalam bab ini akan dilakukan analisis lebih atas data penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Pada tahap awal, penulis akan menganalisis unsur intrinsik cerpen-cerpen Markesot Bertutur yang dibatasi pada tema dan tokoh. Pembahasan unsur intrinsik cerpen-cerpen itu juga dibatasi cerpen cerpen Markesot Bertutur—yang menurut penulis—menampilkan kritik sosial. Cerpen-cerpen tersebut adalah “Menafsirkan Bersin Baginda Raja”, “Kepekaan untuk Mengamankan Demokrasi”, “Kegusaran si Binatang Langka”, “Sarip Tambalelo dan Sang Prabu Ngutowaton”, “Sssst... Ada yang Cipta Keadilan”, “Senyum Serdadu”, dan “Demokrasi Naga”.
Dari analisis unsur intrinsik tema dan tokoh pada tujuh cerpen di atas akan diungkapkan dan dijelaskan bentuk kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur. Penjelasan bentuk kritik sosial tersebut akan dilakukan melalui pedekatan sosiologi sastra. Pendekatan ini tentu akan menggunakan referensi yang berhubungan dengan bentuk kritik sosial yang dimaksud.
B.     Tema dan Tokoh dalam Kumpulan Cerpen Markesot Bertutur
Menganalisis tema dan tokoh pada cerpen tentunya berbeda dengan jika dibandingkan dengan menganalisis novel. Sebuah cerpen biasanya hanya berisi satu tema. Hal ini berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas. Sebaliknya novel dapat saja menawarkan lebih dari satu tema, yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan (Nurgiantoro, 2013:15). Dalam cerpen, jumlah tokoh lebih terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan sehingga pembaca harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu (Nurgiantoro, 2013:15-16).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan peristiwa tertentu (Nurgiantoro, 2013:116).
Unsur lain yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah tokoh. Tokoh cerita (character), menurut Abrams yang dikutip Nurgiantoro (2014:247), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam kaitan dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh yang dihadirkan dalam cerpen tidak sama.
Apabila dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 2013:258). Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character) (Nurgiyantoro, 2013:258). Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis tokoh utama dan tokoh tambahan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur.
Tokoh utama pada kumpulan cerpen Markesot Bertutur adalah Markesot. Ia merupakan anggota masyarakat menegah ke bawak yang memiliki pemikiran dan daya kritis yang kuat. Tema yang diusung pada keseluruhan cerpen Markesot Bertutur adalah ketidakadilan pemerintah. Selanjutnya, tokoh-tokoh tambahan dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur yang telah penulis tulis yaitu :
1.      Cerpen “Menafsirkan Bersin Baginda Raja”
Sahabat Markesot. Pada Cerpen ini si Sahabat Markesot sedang berdiskusi dengan markesot mengenai kekacauan di negaranya.
2.      Cerpen “Kepekaan untuk Mengamankan Demokrasi
Tokoh tambahan dalam cerpen ini adalah seorang penjual rokok, rekan dari Markesot. Penjual rokok tersebut dikejar-kejar oleh aparat keamanan karena memasang poster yang menurut aparat keamanan itu berisi provokasi, kemudian ia bersembunyi di rumah Markesot.
3.      Cerpen “Kegusaran si Binatang Langka”
Tokoh tambahan dalam cerpen ini ialah seorang seniman yang merupakan teman kental Markesot yang tinggal di ibu kota. Dalam cerpen ini, tamu tersebut tiba-tiba datang ke rumah Markesot dengan marah-marah. Rupanya ia kesal karena pementasan seni yang akan dihadiri olehnya sebagai bintang tamu dibatalkan oleh panitia pelaksana.
4.      Cerpen “Sarip Tambalelo dan Sang Prabu Ngutowaton”
Tokoh tambahan dalam cerpen ini yaitu warga KPMb, Makembloh, dan Markadal. Dalam cerpen ini diceritakan mengenai diskusi tentang tulisan-tulisan yang ada di Majalah Dinding warga KPMb serta diskusi tentang ketidakadilan pemerintah.
5.      Cerpen “Sssst... Ada yang Cipta Keadilan?”
Tokoh tamabahan dalam cerpen ini ialah menteri, sutradara, aktivis mahasiswa, serta anak sulung sang sutradara. Dalam cerpen ini, Markesot diajak oleh sahabat-sahabatnya, sutradara dan mahasiswa, untuk menghadiri acara peresmian sebuah yayasan di Ujungpandang.
6.      Cerpen “Senyum Serdadu”
Tokoh tamabahn dalam cerpen ini ialah teman-teman dari Markesot. Dalam cerpen ini Markesot menceritakan pengalaman selama hidup di Jerman kepada teman-temannya.
7.      Cerpen “Demokrasi Naga”
Tokoh tambahan dalam cerpen ini ialah teman dari Markesot. Pada cerpen ini diceritakan tentang Markesot mendapat surat dari rekannya berkebangsaan Cina yang sedang studi di Belanda. Isi surat itu ialah mahasiswa Cina itu meminta Markesot mendukung pembentukan negara demokrasi di Cina, karena pada waktu itu di Cina masih menganut sistem komunis.
C.    Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Markesot Bertutur Karya Emha Ainun Najib: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra
Persoalan masyarakat seringkali diangkat pengarang dalam karya sastra. Persoalan tersebut biasanya merupakan permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat. Pengarang melalui karya-karyanya melakukan kritik terhadap persoalan yang sedang terjadi di masyarakat. Kritik terhadap masyarakat yang dilakukan pengarang pada dasarnya bersumber pada pandangan yang sudah menjadi slogan, yakni “seni adalah cermin masyarakatnya”. Slogan ini mencakup pengertian bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masyarkatnya: dan kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang tinggi, karya sastranya juga pasti mencerminkan kritik sosial (yang barangkali tersembunyi) ada dalam masyarakt itu (Damono, 1983:22).
Menurut penulis, ketujuh cerpen yang diambil dari kumpulan cerpen Markesot Bertutur ini menampilkan bentuk-bentuk kritik sosial. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kritik sosial, maka perlu referensi mengenai sejarah kepemerintahan pada masa orde baru, peristiwa yang terjadi di Cina, serta peristiwa runtuhnya Tembok Berlin. Oleh karena itu, dalam menjelaskan bentuk kritik sosial cerpen-cerpen Markesot Bertutur akan digunakan pendekatan sosiologi sastra.
Emha Ainun Najib pada cerpen-cerpennya melontarkan kritik terhadap kondisi sosial masyarakat yang dekat dengan kesehariannya, yaitu kepemerintahan pada masa Orde Baru, demonstrasi mahasiswa di Cina, dan Kritik Terhadap Tembok Berlin, Jerman Barat, dan Jerman Timur. Berikut ini adalah bentuk-bentuk kritik sosial yang terdapat dalam cerpen-cerpen Emha Ainun Najib.
a.      Kritik terhadap Pemerintah Orde Baru
Soeharto diangkat menjadi presiden di Indonesia pada tahun 1966. Sebelumnya, jabatannya adalah sebagai pangkostrad. Setelah peristiwa G30S, ia diangkat pula menjadi pangkopkamtib. Setelah adanya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) Soeharto pun diangkat menjadi presiden pada tahun 1966. Ia menjabat sebagai presiden selama 32 tahun sampai tahun 1998.
Latar waktu pada kumpulan cerpen Markesot Bertutur adalah dari tahun 1965-200-an. Dalam Markesot Bertutur, Cak Nun menggambarkan sebuah keadaan masyarakat yang mengalami “zaman edan”. Pada rentang waktu dalam kumpulan cerpen tersebut, pemerintah yang berkuasa di Indonesia adalah Orde Baru. Berdasarkan latar waktu dalam kumpulan cerpen yang kental dengan berbagai kritik tersebut, secar tidak langsung terlibat bahwa Cak Nun mengkritik pemerintahan Orde Baru.
Pada Markesot Bertutur, ditemukan berbagai kritik yang begitu tajam terhadap Orde Baru. Akan tetapi, Emha ainun Najib tidak secara gamblang menyebutkan Orde Baru atau Soeharto sebagai presiden pada masa tersebut. Kritiknya disampaikan melalui berbagai cara. Berikut adalah penjelasan hal-hal apa sajakah dalam pemerintahan Orde Baru yang dijadikan sasaran kritik oleh Emha Ainun Najib.
1.      Pemenjaraan Pikiran
Orde Baru memperlakukan orang-orang yang dianggap mengganggu kelanggengan kekuasaan tersebut dengan cara membungkam orang-orang yang mencoba mengungkapkan keburukan-keburukan Orde Baru. Hal ini terlukiskan pada kutipan cerpen berikut ini:
“Kenapa dicopot poster yang bagus seperti itu?” seorang anggota forum menggugat, “Bukankah isi poster itu jauh lebih positif dibandingkan iklan-iklan barang mewah, iming-iming hadiah besar dalam penjualan barang, atau publikasi kode-kode nomer buntuu? Poster itu 100% positif, karena membela nasib guru, antikorupsi, dan antijudi. Itu sesuai dengan perjuangan pemerintah sendiri...” dalam cerpen Kepekaan untuk Mengamankan Demokrasi (Najib, 2012:21-22).
Kutipan tersebut diungkapkan oleh tokoh seorang anggota forum dalam Markesot Bertutur. Tokoh ini memprotes kejadian pencopotan sebuah poster oleh aparat keamanan yang menurutnya poster tersebut bernilai positif. Pada masa Orde Baru, kebebasan berpendapat dikekang oleh pemerintah. Seseorang yang bebas fisiknya, dikatakan tidak bebas jika ia dilarang mengungkapkan pendapatnya. Kemudian, pada kutipan cerpen yang lain dikuatkan mengenai pengekangan pendapat oleh pemerintah Orde Baru, seperti berikut ini:
“Kalau nggak paham jangan jadi pemuka masyarakat, Tuhan saja memberi kemerdekaan sedemikian besar, tapi mereka ini meletakan diri melebihi batas kewenangan Tuhan. Mereka menyensor setiap gejala sosial yang diperkirakan merugikan kekuasaan mereka. Mereka menyensor khotbah di masjid, menyensor bunyi mulut mubaligh, menyensor puisi penyair, menyensor drama para teaterawan – kadangkala tanpa kriteria yang jelas. Lama-lama mereka menyensor mimpi kita waktu tidur...”, dalam cerpen Kegusaran si Binatang Langka (Najib, 2012:24).
“Kemerdekaan berpendapat itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar negara kita. Jadi mau ngobrol, menerbitkan koran, majalah, tabloid, atau mading, kapan saja bisa tanpa izin-izin segala. Orang Indonesia sudah jadi bodoh. Disangkanya menerbitkan koran itu memang sewajarnya pakai SIUPP....” dalam cerpen Sarip Tambalelo dan Sang Prabu Ngutowaton (Najib, 2012:28).
2.      Pejabat yang Korup
Selama pemeritahan Orde Baru, korupsi di Indonesia semakin meningkat. Beberapa sektor dalam pemerintahan tidak luput dari korupsi. Para penguasa dan pemimpin pun menjadi semakin diuntungkan sementara bawahan dan rakyat semakin dirugikan. Hal ini tidak luput dikritik oleh Cak Nun dalam Markesot Bertutur. Berikut adalah kutipannya:
“Ya kasus-kasus di negara kita ini. Tak habis-habisnya. Yang satu tak terselesaikan, muncul yang lainnya lagi. Soal tanah ribut, korupsi bank ribut, pernyataan-pernyataan ribut, tuntut-menuntu ribut...” dalam cerpen Menafsirkan Bersin Baginda Raja (Najib, 2012:17).
Tokoh yang mengucapkan protes tersebut ialah teman Markesot yang oleh Cak Nun tidak disebutkan namanya. Ia merasakan kegusaran akibat kasus-kasus yang melanda Indonesia, salah satunya korupsi, yang ternyata tidak hanya pemerintah, tetapi juga bank.
Pada bagian cerpen yang lain, Cak Nun menuliskan sebuah doa agar negeri ini terbebas dari korupsi, yakni sebagai berikut:
“Ya Allah, Jauhkan Negeri Kami dari Korupsi” dalam cerpen Kepekaan untuk Mengamankan Demokrasi (Najib, 2012:21).
Tulisan itu merupakan isi dari poster yang dipajang oleh tukang rokok di kiosnya yang oleh pihak keamanan dicopot. Namun dibalik itu, Cak Nun sengaja menulisnya agar menjadi doa bagi bangsa Indonesia pada umumnya agar terhindar dari korupsi.
b.      Kritik Terhadap Pemerintah Cina
Cak Nun tidak hanya mengkritisi pemerintah Orde Baru saja, namun peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di luar negeri pun ia kritisi guna menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Perisitiwa luar negeri yang diangkat dalam Markesot Bertutur yaitu tragedi Tiananmen di Beijing pada tahun 1989. Sebelum membahas mengenai kejadian tersebut, penulis mencoba menjelaskan tokoh yang disebut dalam cerpen Demokrasi Naga yang dikritisi oleh Emha Ainun Najib yaitu, Deng Xiaoping.
Deng Xiaoping adalah tokoh utama yang memimpin dan memulai proses reformasi ekonomi dan politik Cina. Deng Xiaoping juga merupakan orang paling berkuasa sekaligus pimpinan tertinggi Cina setelah menggantikan Mao Zedong yang meninggal dunia. Hal yang dikritisi Emha Ainun Najib tentang Deng Xiaoping ialah seperti kutipan berikut:
“Si Deng Xiaoping maunya bikin perestroika ekonomi dan budaya tapi tanpa demokrasi politik. Jadinya njomplang. Kapal jadi oleng. Ndak karuan iramanya...” dalam cerpen Demokrasi Naga (Najib, 2012:37).
Peristiwa yang diangkat pada cerpen Demokrasi Naga sebagai akibat dari permasalahan yang dikutip diatas yaitu tragedi Tiananmen 1989. Tragedi Tiananmen adalah sebuah rangkaian demokrasi mahasiswa yang diadakan di Lapangan Tiananmen di Beijing, Cina, antara 15 April dan 4 Juni 1989. Kutipan yang menunjukan peristiwa ini yaitu:
“Dalam keadaan oleng begitu, para mahasiswa juga kesusu. Mereka maunya menyelengarakan peregeseran atmosfir politik ke arah demokrasi, tapi dengan setengah sulapan. Infrastrukturnya belum siap. Dan lantas PKC juga kesusu ambil tindakan yang supra represif, dar, der, dor, mbunuhin rakyatnya sendiri seperti orang ngopor kedelai dan dikremusi.
Protes ini ditujukan terhadap ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik yang kemudian merembet menjadi demonstrasi pro-demokrasi yang memang merupakan sesuatu yang belum lazim di Cina yang otoriter. Lebih dari 3.000 orang meninggal sebagai akibat dari tindakan dari pasukan bersenjata. Maka pada cuplikan cerpen Demokrasi Naga yang lain, Cak Nun mengkritisi lagi kebijakan Deng Xiaoping yang menurutnya tidak tepat.
“Heran, deng dan Li Peng kok goblok. Mestinya mereka jangan menolak demokrasi, mestinya mereka bisa sedikit lebih arif dan licik untuk tidak menolak tuntutan para mahasiswa prodemokrasi itu secara semata-mata, apalagi dengan taburan peluru-peluru...” dalam cerpen Demokrasi Naga (Najib, 2012:38).
c.        Kritik Terhadap Tembok Berlin, Jerman Timur, dan Jerman Barat
Tembok Berlin adalah sebuah tembok pembatas yang dibuat dari beton yang dibangun oleh Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur serta daerah Jerman Timur lainnya. Tembok ini dibangun mulai pada tanggal 13 Agustus 1961. Tembok pembatas ini dilengkapi dengan menara pengawas yang ada di sepanjang tembok ini, juga pendirian sebuah daerah terlarang yang diisi dengan ranjau anti kendaraan. Para pemerintah Jerman Timur menyatakan bahwa tembok ini dibangun untuk melindungi warganya dari elemen-elemen fasis  yang dapat memicu gerakan-gerakan besar, sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan komunis di Jerman Timur.
Permasalahan mengenai Tembok Berlin dibahas pada cerpen Senyum Serdadu dalam kumpulan cerpen Markesot Bertutur. Emha Ainun Najib mengkritisi mengenai Tembok Berlin, seperti kutipan berikut:
“Tembok Berlin adalah lambang nyata dan realisitis dari kebiadaban dunia berpolitik umat manusia. Sanak famili, sahabat, atau handaitolan dipisahkan secara mendadak oelh makhluk yang bernama ideologi politik.” dalam cerpen Senyum Serdadu (Najib, 2012:24).
Jerman Barat dibawah zona pendudukan Amerika, Inggris, dan Perancis yang menganut sistem ekonomi liberal. Adopsi Jerman Barat dalam politiknya yang demokrasi setelah 1945, membuat suatu perbaikan ekonomi yang sagat kuat bahkan menjadikannya sebagai economic miracle, yang mampu menjadi salah satu negara termakmur di dunia di akhir 1960-an. Sementara itu, Jerman Timur yang dibawah zona kekuasaan Uni Sovyet merupakan negara dengan ideologi komunis di Eropa. Hidup di Jerman Timur tidak akan memiliki kebebasan karena segala infrastruktur yang ada merupakan aset negara.
Perkembangan ekonomi Jerman Timur sangat jauh berbeda dengan Jerman Barat yang menganut faham liberal. Di Jerman Barat, setiap orang bebas berkompetisi mendirikan faktor-faktor ekonomi, sementara di Jerman Timur hanya pemerintahlah yang mengatur jalannya perekonomian. Hal ini seperti pada kutipan cerpen berikut ini:
“Lihat saja Jertim yang antiswasta itu jadi buram dan terbelakang, miskin dan begitu-begitu terus, mobilnya hanya satu macam. Beda dengan Jerbar yang menjulang...” dalam cerpen Senyum Serdadu (Najib, 2012:35).
Kemudian pada kutipan yang lain di cerpen yang sama, Cak Nun juga membandingkan secara rinci antara Jerman Barat dan Jerman Timur melalui dialog tokohnya.
“Memang. Di Jertim orang dicukupi semua keperluannya meskipun terbatas dan sederhana. Makan cukup, minum cukup, sandang, rumah, air, listrik, apa saja asal tidak mewah. Syaratnya, jangan omong macam-macam, pokoknya ikut saja apa kata pemerintah. Kalau di Jerman Barat, orang bebas berpendapat, bebas bersaing, sehingga sangat maju, tapi juga banyak orang kalah dan terpinggirkan menjadi gelandangan atau gila...” dalam cerpen Senyum Serdadu (Najib, 2012:36).
Kritik sosial yang ingin disampaikan oleh Cak Nun pada cerpen Senyum Serdadu ialah: pertama, permasalahan Tembok Berlin yang berusaha memisahkan persaudaraan antar umat manusia demi kepentingan ideologis semata. Kedua, Cak Nun secara tidak langsung mengkritisi zaman Orde Baru dengan menyamakan kondisi yang hampir sama terjadi di Jerman Barat dan Jerman Timur seperti yang terjadi di Indonesia yakni: persaingan yang sengit antar penguasa membuat yang kalah menjadi gelandangan bahkan gila, Orde Baru yang otoriter, seperti halnya Jerman Timur, membuat masyarakat menderita dan kemiskinan sementara penguasalah yang bergelimang harta, kebebasan berpendapat dikekang, dan pengawasan yang ketat dari keamanan negara.










BAB IV
KESIMPULAN
1.1  Kesimpulan
Sosok Emha Ainun Najib dalam dunia sastra Indonesia modern merupakan sosok yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen sudah meramaikan dunia sastra Indonesia modern. Karya Emha Ainun Najib, salah satunya Markesot Bertutur, telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan penikmat sastra, pemerhati sastra, dan sastrawan Indonesia.
Melalui karya-karyanya tersebut, Emha Ainun Najib sepertinya ingin mengatakan bahwa “hidup kita harus bersih dari penyelewengan moral, hukum, politik, kebenaran bahasa, dan agama”. Setiap orang harus mengikuti norma dan aturan yang berlak di masyarakat, namun bukan berarti dikekang, hanya saja segala tindak, perilaku, budi, dibebaskan dengan mengikuti pedoman yang ada di masyarakat supaya tidak terjadi penyelewengan moral. Dengan segala sikapnya yang humoris, kritis, dan mbeling, kiranya sosok Emha Ainun Najib pantas mendapat perhatian dan layak untuk disebut sebagai bagian dari dunia sastra Indonesia modern.
Ada dua hal yang telah dicapai pada penelitian ini. Pertama, telah dianalisis unsur-unsur intrinsik cerpen-cerpen Markesot Bertutur yang dibatasi pada tema dan tokoh. Kedua, dari hasil analisis tersebut penulis menemukan tiga bahasan utama yang menjelaskan bentuk-bentuk kritik sosial berdasarkan fenomena yang sedang terjadi di masyarakat menggunakan metode sosiologi sastra, yakni sebagai berikut
1.      Kritik terhadap Pemerintahan Orde Baru.
2.      Kritik Terhadap Pemerintahan Cina.
3.      Kritik Terhadap Tembok Berlin, Jerman Barat, Jerman Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1983. “Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah    Tanpa Sengat” dalam Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan. Jakarta: PT. Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra terjemahan Ida Sundari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hikmat, Mahi M. 2011. Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nurgiantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan, terj. Meliani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Wrong, Dennis Hume. 2008. Sociology. Microsoft Encarta® 2009 (DVD). Redmond, WA; Microsoft Corporation.


1 komentar: