Kamis, 30 Oktober 2014

komanah



KOMANAH/1210503078
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DAN SASTRA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Dewasa ini banyak permasalahan yang menyulitkan dalam penafsiran suatu karya sastra, kadang kala seseorang berpikir bahwasannya karya tersebut membahas filsafat begitupun sebaliknya, tanpa mengetahui prihal yang mendasari dari penciptaan karya filsafat ataupun karya sastra. 
Demi pencapaian suatu pemahaman terhadap permasalahan diatas, sebagai mahasiswa bahasa dan sastra penulis terus menulusuri seluruh aspek yang berkenaan dengan filsafat sebagai sumber pemikiran dasar dan kesusastraan sebagai pruduksi aktif yang diharapkan.
Berangkat dari hal tersebut penulis mencoba membuat suatu pembahasan yang menjelaskan teori dasar Filsafat, teori dasar Sastra dan hubungan antara keduanya. berdasarkan pendapat dan bukti aktual dari para ahli dibidangnya, dengan merumuskan permasalahan sebagaimana di bawah ini.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dapat  dirumuskan beberapa pertanyaan  sebagai berikut:
1.    Bagaimana hakikat filsafat?
2.    Bagaimana hakikat sastra?
3.    Bagaimana hubungan filsafat dan sastra?


1.3   Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui hakikat filsafat.
2.    Untuk mengetahui hakikat sastra.
3.    Untuk mengetahui hubungan filsafat dan sastra.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Hakikat Filsafat
                        Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta. Sedangkan sophos, sophia dan sophien yang artinya kebenaran, keadilan, dan bijaksana  atau kebijaksanaan. Pengertian filsafat secara etimologis dapat disimpulkan adalah cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/kearifan.
                        Kata filsafat juga berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Sedangkan dari bahasa Inggris yaitu philosophy. Selain itu kata filsafat juga berasal dari bahasa Indonesia yaitu filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat filosofis).
                  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:277), filsafat dapat didefinisikan sebagai berikut:
1.      Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
2.      Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3.      Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.
4.      Falsafah.
                  Selain definisi KBBI, Cornelius Benjamin (dalam The Liang Gie, 19 : 58) memandang fil-safat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.” Filsafat ilmu, merurut Benjamin, merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsepkonsep, dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.
                  Jujun Suriasumantri (2005 : 33-34) memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut. Kelompok pertanyaan pertama antara lain sebagai berikut ini. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangap manusia ? Kelompok pertanyaan kedua : Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang dimaksud dengan kebenaran ? Dan seterusnya. Dan terakhir, kelompok pertanyaan ketiga : Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu ? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Dan seterusnya. Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaanpertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
      2.1.1          Karakteristik filsafat ilmu
            Dari beberapa pendapat di atas dapat diidentifikasi karakteristik
filsafat ilmu sebagai berikut.
a)      Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
b)      Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.


2.1.2          Objek dan Material filsafat ilmu
Obyek filsafat ilmu dibedakan atas obyek material dan obyek formal. Yang dimaksudkan dengan obyek material filsafat ilmu (dan juga ilmu-ilmu lain) ialah sesuatu atau obyek yang diselidiki, dipelajari, dan diamati. Atau segala sesuatu yang ada, yang meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan.[1][3]  Sedangkan obyek formal filsafat ilmu (dan ilmu-ilmu lain) ialah sudut pandang (angle) dalam penyelidikan atau pengamatan. Atau hakikat dari segala sesuatu yang ada

2.2      Hakikat Sastra
                        Menurut Robert Scholes (dalam Luxemburg dkk, 1992: 1), sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda. Mengutip pandangan Robert Scholes tersebut, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan ruang yang mengedepankan kata-kata (semacam lahan berekspresi) dibandingkan pada kebendaan yang mungkin setiap saat bisa lapuk dan binasa. Kata-kata diyakini akan lebih awet sebab ia berputar pada imajinasi antara hati dan otak manusia. Sehingga jarang untuk binasa.
                        Sapardi (1979: 1) sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
                        Plato mengemukakan bahwa sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
                  Sastra sangat berkait dengan istilah ‘filologi’. Filologi sebagai kajian budaya mencakup sastra, bahasa, seni, politik, agama, dan adat istiadat. Satra boleh juga disebut bagian dari filologi. Sastra sering dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, juga dikatakan sebagai ‘pembentuk budi pekerti’. Perkataan ini banyak mengacu pada Horace, yakni dulce et utile yang memberikan penegasan bahwa sastra sebagai karya yang indah dan bermanfaat bagi pembaca. Masyarakat yang melakukan pembacaan terhadap karya sastra akan mendapatkan kesenangan dari tulisan yang indah dan mengharukan, juga mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak pernah disadari keberadaannya di sekeliling.
                  Sastra memang hasil kreativitas pengarang yang mencermati realitas, namun untuk memahaminya dibutuhkan ilmu mengenai sastra itu sendiri. Sastra tidak hanya menampilkan rekaan untuk menghibur, melainkan ada sisi ‘tanda’ yang terwujud di dalamnya. Tanda itu terkait dengan gejala sosial yang secara sadar ataupun tidak sadar mewujud pada teks sastra. Satra sebagai hasil kreativitas merepresentasikan ‘gejala sosial’ yang dicermati oleh sastrawan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
                  Hakikat karya sastra yang menampilkan sisi universal sekaligus khusus merupakan perkembangan dari konsep pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Sastra yang terus mengalami perubahan menjadikan teori-teori yang pernah dituliskan pada masa dulu menuntut untuk terus diperbaharui. Hanya saja, teori-teori yang agung dan diungkapkan dengan kecermatan masih dipertahankan karena adanya keselarsan dengan zaman. Hakikat karya sastra yang terus mengalami perubahan perlu dicermati pada keterhubungan antarilmu sastra. Hubungan antarilmu tersebut merupakan pengetahuan untuk memasuki dunia sastra yang penuh dengan tanda. Untuk memahami hakikat karya sastra, perlu terlebih dahulu memahami cabang-cabang ilmu sastra dan hubungannya sebagai elemen yang saling mengisi dan mentransformasikan sisi-sisi sastra yang terus mengalami perubahan.
                  Cabang-cabang ilmu sastra itu diantaranya adalah sejarah sastra, kritik sastra, dan teori sastra. Sulit membicarakan satu dan melepaskan yang dua. Ketiganya merupakan satu jalinan. Jelas bahwa sulit memisahkan antara teori sastra dari kritik dan sejarah sastra, maupun sebaliknya. Teori sastra tak mungkin dapat disusun tanpa kritik dan sejarah sastra. Kriteria, kategori, skema (teori sasta) tak mungkin dibuat tanpa pijakan studi karya sastra (kritik dan sejarah sastra). Sebaliknya, tak mungkin ada kritik sastra dan sejarah sastra tanpa sistem pemikiran dan generalisasi (teori sastra). Teori dan praktik selalu mempengaruhi.
                  Sastra tidak dapat dilepaskan dari unsur pengarang., masyarakat, dan pembaca. Karya sastra ditulis oleh seorang pengarang. Karya sastra dapat pula merupakan potret kehidupan masyarakat. Karya sastra ditulis tentu untuk diapresiasi pembaca. Sebagai pribadi, pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya (Wellek dan Austin, 1989: 114). Sebagai warga masyarakat, pengarang cenderung berusaha menyuarakan aspirasi masyarakat dalam karya-karyanya. Oleh karena itu, membicarakan karya sastra sesungguhnya tidak terlepas dari masyarakat. Seni dapat dikaitkan dengan biografi, psikologi, filsafat, maupun masyarakat. Karya seni dapat diteliti melalui biografi pengarang, psikologi yang dianut pengarang, filsafat yang mempengaruhi karya sastra, maupun masyarakat atau dunia tempat pengarang berada.
2.3       Hubungan Filsafat dan Sastra
Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lainnya. filsafat akan bermakna dalam sastra kalau sastra diisi dengan nilai-nilai karena filsafat hasil perenungan manusia untuk menemukan jatidirinya. Jadi disini sastra berfungsi mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karaker sastra. Dan sumbernya  tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya.
Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.
Bagaimanapun perbedaan yang terdapat dalam filsafat dan sastra, muara keduanya tetaplah sama, yaitu manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahayana (2008) yang menjelaskan bahwa filsafat dan sastra merupakan refleksi atas kehidupan manusia. Sutrisno (1995) menegaskan bahwa filsafat dan sastra memiliki muara yang sama, yaitu kehidupan manusia.
Sejak manusia mengenal mitos, sejak itu pula hubungan filsafat dan sastra tidak bisa dipisahkan. Banyak sekali filsafat-filsafat yang dituangkan dalam bentuk sastra. Hal ini merupakan salah satu cara filsafat menyentuh masyarakat dengan segala pencerahan kehidupan yang kandungnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam konteks tersebut, sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat.
Dalam konteks sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat, dapat dipahami bahwa sastra merupakan penghubung filsafat dengan masyarakat. Filsafat yang dikenal menggunakan ‘bahasa yang tinggi’ dan abstrak, menjadikannya sulit dipahami. Dengan adanya sastra sebagai corong filsafat, maka dengan mudah masyarakat memperoleh pencerahan kehidupan dari filsafat tersebut.
Selain sebagai corong filsafat untuk menyentuh masyarakat, sastra juga dapat berfungsi sebagai lahan filsafat untuk mengembangkan dahan-dahan falsafahnya. Sastra sebagai cermin kehidupan yang menyajikan cerita-cerita kehidupan adalah wadah filsuf dalam mengembangkan falsafah-falsafah baru bagi kehidupan manusia. Kehidupan yang terus berkembang tersebut (yang terurai dalam karya sastra) pada akhirnya terus diikuti oleh perkembangan filsafat yang berfungsi sebagai pemberi cahaya dalam kehidupan manusia agar lebih memiliki makna.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami hubungan filsafat dan sastra ibarat dua sisi mata uang yang bersifat komplementer. Filsafat tanpa sastra akan kehilangan salah satu corongnya dalam menyentuh kehidupan masyarakat. Apabila filsafat sudah tidak lagi bisa menyentuh masyarakat, maka filsafat akan kehilangan eksistensinya. Demikian pula dengan sastra. Sastra tanpa muatan falsafah kehidupan akan kehilangan ‘kesakralannya’.











BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Filsafat adalah sekumpulan sikap, pemikiran, dan kepercayaan terhadap problema-problema yang berlangsung dalam masyarakat.
  2. Sastra adalah upaya manusia untuk mengemukakan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari pemikiran dan perasaan yang diungkapkan dalam bentuk tulisan.
  3. Hubungan sastra dan filsafat bersifat komplementer. Sastra dan filsafat bersumber pada manusia sebagai obyeknya.















DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja
            Rosdakarya.
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera
            Cendikia.
Sutardi. 2011. Apresiasi Sastra: Teori, aplikasi, dan pembelajarannya.
            Lamongan: Pustaka Ilalang.
Mahayana. Maman S. 2008. Hubungan Sastra dan Filsafat. (Online),
_______. _______.  Filsafat Ibnu Sina. eBook. Diakses 28 Oktober 2014



                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar