KOMANAH/1210503078
HUBUNGAN
FILSAFAT ILMU DAN SASTRA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa ini banyak permasalahan yang
menyulitkan dalam penafsiran suatu karya sastra, kadang kala seseorang berpikir
bahwasannya karya tersebut membahas filsafat begitupun sebaliknya, tanpa
mengetahui prihal yang mendasari dari penciptaan karya filsafat ataupun karya
sastra.
Demi pencapaian suatu pemahaman
terhadap permasalahan diatas, sebagai mahasiswa bahasa dan sastra penulis terus
menulusuri seluruh aspek yang berkenaan dengan filsafat sebagai sumber
pemikiran dasar dan kesusastraan sebagai pruduksi aktif yang diharapkan.
Berangkat dari hal tersebut penulis
mencoba membuat suatu pembahasan yang menjelaskan teori dasar Filsafat, teori
dasar Sastra dan hubungan antara keduanya. berdasarkan pendapat dan bukti
aktual dari para ahli dibidangnya, dengan merumuskan permasalahan sebagaimana
di bawah ini.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan
di atas, dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana hakikat filsafat?
2.
Bagaimana hakikat sastra?
3. Bagaimana hubungan filsafat dan
sastra?
1.3
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui hakikat filsafat.
2.
Untuk mengetahui hakikat sastra.
3.
Untuk mengetahui hubungan filsafat dan sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat Filsafat
Kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni philos,
philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta. Sedangkan sophos, sophia
dan sophien yang artinya kebenaran, keadilan, dan bijaksana atau kebijaksanaan. Pengertian filsafat
secara etimologis dapat disimpulkan adalah cinta kebenaran atau cinta
kebijaksanaan/kearifan.
Kata
filsafat juga berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Sedangkan dari bahasa
Inggris yaitu philosophy. Selain itu kata filsafat juga berasal dari bahasa
Indonesia yaitu filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat
filosofis).
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1998:277), filsafat dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,
asal, dan hukumnya.
2. Teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3. Ilmu yang
berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.
4. Falsafah.
Selain definisi
KBBI, Cornelius Benjamin (dalam The Liang Gie, 19 : 58) memandang fil-safat
ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic
study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.”
Filsafat ilmu, merurut Benjamin, merupakan cabang dari filsafat yang secara
sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsepkonsep,
dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari
cabang-cabang pengetahuan intelektual.
Jujun Suriasumantri (2005 : 33-34) memandang filsafat ilmu sebagai
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga
kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut. Kelompok pertanyaan
pertama antara lain sebagai berikut ini. Objek apa yang ditelaah ilmu ?
Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek
tadi dengan daya tangap manusia ? Kelompok pertanyaan kedua : Bagaimana proses
yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana
prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar ? Apa yang dimaksud dengan kebenaran ? Dan seterusnya.
Dan terakhir, kelompok pertanyaan ketiga : Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu ? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah
moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Dan seterusnya. Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu
secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan
tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaanpertanyaan kelompok ketiga
sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
2.1.1 Karakteristik filsafat ilmu
Dari
beberapa pendapat di atas dapat diidentifikasi karakteristik
filsafat
ilmu sebagai berikut.
a) Filsafat
ilmu merupakan cabang dari filsafat.
b) Filsafat
ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis,
epistemologis, dan aksiologis.
2.1.2 Objek
dan Material filsafat ilmu
Obyek filsafat
ilmu dibedakan atas obyek material dan obyek formal. Yang dimaksudkan dengan
obyek material filsafat ilmu (dan juga ilmu-ilmu lain) ialah sesuatu atau obyek
yang diselidiki, dipelajari, dan diamati. Atau segala sesuatu yang ada, yang
meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam
kemungkinan.[1][3] Sedangkan obyek formal filsafat ilmu (dan
ilmu-ilmu lain) ialah sudut pandang (angle) dalam penyelidikan atau pengamatan.
Atau hakikat dari segala sesuatu yang ada
2.2
Hakikat Sastra
Menurut
Robert Scholes (dalam Luxemburg dkk, 1992: 1), sastra itu sebuah kata, bukan
sebuah benda. Mengutip pandangan Robert Scholes tersebut, dapat dikatakan bahwa
sastra merupakan ruang yang mengedepankan kata-kata (semacam lahan berekspresi)
dibandingkan pada kebendaan yang mungkin setiap saat bisa lapuk dan binasa.
Kata-kata diyakini akan lebih awet sebab ia berputar pada imajinasi antara hati
dan otak manusia. Sehingga jarang untuk binasa.
Sapardi
(1979: 1) sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium:
bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat
dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Plato
mengemukakan bahwa sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan
(mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan
sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin
rendah dan jauh dari dunia ide.
Sastra sangat berkait dengan
istilah ‘filologi’. Filologi sebagai kajian budaya mencakup sastra, bahasa,
seni, politik, agama, dan adat istiadat. Satra boleh juga disebut bagian dari
filologi. Sastra sering dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, juga dikatakan
sebagai ‘pembentuk budi pekerti’. Perkataan ini banyak mengacu pada Horace,
yakni dulce et utile yang memberikan
penegasan bahwa sastra sebagai karya yang indah dan bermanfaat bagi pembaca.
Masyarakat yang melakukan pembacaan terhadap karya sastra akan mendapatkan
kesenangan dari tulisan yang indah dan mengharukan, juga mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan yang tidak pernah disadari keberadaannya di sekeliling.
Sastra memang hasil
kreativitas pengarang yang mencermati realitas, namun untuk memahaminya
dibutuhkan ilmu mengenai sastra itu sendiri. Sastra tidak hanya menampilkan
rekaan untuk menghibur, melainkan ada sisi ‘tanda’ yang terwujud di dalamnya.
Tanda itu terkait dengan gejala sosial yang secara sadar ataupun tidak sadar
mewujud pada teks sastra. Satra sebagai hasil kreativitas merepresentasikan
‘gejala sosial’ yang dicermati oleh sastrawan, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Hakikat karya sastra yang
menampilkan sisi universal sekaligus khusus merupakan perkembangan dari konsep
pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Sastra yang terus mengalami perubahan
menjadikan teori-teori yang pernah dituliskan pada masa dulu menuntut untuk
terus diperbaharui. Hanya saja, teori-teori yang agung dan diungkapkan dengan
kecermatan masih dipertahankan karena adanya keselarsan dengan zaman. Hakikat
karya sastra yang terus mengalami perubahan perlu dicermati pada keterhubungan
antarilmu sastra. Hubungan antarilmu tersebut merupakan pengetahuan untuk
memasuki dunia sastra yang penuh dengan tanda. Untuk memahami hakikat karya
sastra, perlu terlebih dahulu memahami cabang-cabang ilmu sastra dan
hubungannya sebagai elemen yang saling mengisi dan mentransformasikan sisi-sisi
sastra yang terus mengalami perubahan.
Cabang-cabang ilmu sastra itu
diantaranya adalah sejarah sastra, kritik sastra, dan teori sastra. Sulit
membicarakan satu dan melepaskan yang dua. Ketiganya merupakan satu jalinan.
Jelas bahwa sulit memisahkan antara teori sastra dari kritik dan sejarah
sastra, maupun sebaliknya. Teori sastra tak mungkin dapat disusun tanpa kritik
dan sejarah sastra. Kriteria, kategori, skema (teori sasta) tak mungkin dibuat
tanpa pijakan studi karya sastra (kritik dan sejarah sastra). Sebaliknya, tak
mungkin ada kritik sastra dan sejarah sastra tanpa sistem pemikiran dan
generalisasi (teori sastra). Teori dan praktik selalu mempengaruhi.
Sastra
tidak dapat dilepaskan dari unsur pengarang., masyarakat, dan pembaca. Karya
sastra ditulis oleh seorang pengarang. Karya sastra dapat pula merupakan potret
kehidupan masyarakat. Karya sastra ditulis tentu untuk diapresiasi pembaca.
Sebagai pribadi, pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya
mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting,
serta mengikuti isu-isu zamannya (Wellek dan Austin, 1989: 114). Sebagai warga
masyarakat, pengarang cenderung berusaha menyuarakan aspirasi masyarakat dalam
karya-karyanya. Oleh karena itu, membicarakan karya sastra sesungguhnya tidak
terlepas dari masyarakat. Seni dapat dikaitkan dengan biografi, psikologi,
filsafat, maupun masyarakat. Karya seni dapat diteliti melalui biografi
pengarang, psikologi yang dianut pengarang, filsafat yang mempengaruhi karya
sastra, maupun masyarakat atau dunia tempat pengarang berada.
2.3 Hubungan Filsafat dan Sastra
Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang yang saling
melengkapi satu sama lainnya. filsafat akan bermakna dalam sastra
kalau sastra diisi dengan nilai-nilai karena filsafat hasil perenungan manusia
untuk menemukan jatidirinya. Jadi disini sastra berfungsi mengkomunikasikan
nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karaker sastra. Dan sumbernya
tetap bermuara pada manusia sebagai
objeknya.
Secara
asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi
pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi
evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan
filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan
pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di
antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.
Bagaimanapun
perbedaan yang terdapat dalam filsafat dan sastra, muara keduanya tetaplah
sama, yaitu manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahayana
(2008) yang menjelaskan bahwa filsafat dan sastra merupakan refleksi atas
kehidupan manusia. Sutrisno (1995) menegaskan bahwa filsafat dan sastra
memiliki muara yang sama, yaitu kehidupan manusia.
Sejak
manusia mengenal mitos, sejak itu pula hubungan filsafat dan sastra tidak bisa
dipisahkan. Banyak sekali filsafat-filsafat yang dituangkan dalam bentuk
sastra. Hal ini merupakan salah satu cara filsafat menyentuh masyarakat dengan
segala pencerahan kehidupan yang kandungnya. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa dalam konteks tersebut, sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh
masyarakat.
Dalam
konteks sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat, dapat
dipahami bahwa sastra merupakan penghubung filsafat dengan masyarakat. Filsafat
yang dikenal menggunakan ‘bahasa yang tinggi’ dan abstrak, menjadikannya sulit
dipahami. Dengan adanya sastra sebagai corong filsafat, maka dengan mudah
masyarakat memperoleh pencerahan kehidupan dari filsafat tersebut.
Selain sebagai corong filsafat untuk menyentuh masyarakat, sastra juga dapat berfungsi sebagai lahan filsafat untuk mengembangkan dahan-dahan falsafahnya. Sastra sebagai cermin kehidupan yang menyajikan cerita-cerita kehidupan adalah wadah filsuf dalam mengembangkan falsafah-falsafah baru bagi kehidupan manusia. Kehidupan yang terus berkembang tersebut (yang terurai dalam karya sastra) pada akhirnya terus diikuti oleh perkembangan filsafat yang berfungsi sebagai pemberi cahaya dalam kehidupan manusia agar lebih memiliki makna.
Selain sebagai corong filsafat untuk menyentuh masyarakat, sastra juga dapat berfungsi sebagai lahan filsafat untuk mengembangkan dahan-dahan falsafahnya. Sastra sebagai cermin kehidupan yang menyajikan cerita-cerita kehidupan adalah wadah filsuf dalam mengembangkan falsafah-falsafah baru bagi kehidupan manusia. Kehidupan yang terus berkembang tersebut (yang terurai dalam karya sastra) pada akhirnya terus diikuti oleh perkembangan filsafat yang berfungsi sebagai pemberi cahaya dalam kehidupan manusia agar lebih memiliki makna.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dipahami hubungan filsafat dan sastra ibarat dua sisi
mata uang yang bersifat komplementer. Filsafat tanpa sastra akan kehilangan
salah satu corongnya dalam menyentuh kehidupan masyarakat. Apabila filsafat
sudah tidak lagi bisa menyentuh masyarakat, maka filsafat akan kehilangan
eksistensinya. Demikian pula dengan sastra. Sastra tanpa muatan falsafah
kehidupan akan kehilangan ‘kesakralannya’.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
- Filsafat adalah sekumpulan sikap, pemikiran, dan kepercayaan terhadap problema-problema yang berlangsung dalam masyarakat.
- Sastra adalah upaya manusia untuk mengemukakan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari pemikiran dan perasaan yang diungkapkan dalam bentuk tulisan.
- Hubungan sastra dan filsafat bersifat komplementer. Sastra dan filsafat bersumber pada manusia sebagai obyeknya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar.
2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:
Remaja
Rosdakarya.
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya:
Lentera
Cendikia.
Sutardi. 2011. Apresiasi Sastra: Teori, aplikasi, dan
pembelajarannya.
Lamongan: Pustaka Ilalang.
Mahayana. Maman S. 2008. Hubungan Sastra dan Filsafat. (Online),
_______. _______. Filsafat Ibnu
Sina. eBook. Diakses 28 Oktober
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar