Sastra Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Rumusan Masalah
1.
bagaimana
ontologi sastra sebagai ilmu?
2.
Bagaimana
epistemologi sastra sebagai ilmu?
3.
bagaimana
aksiologi sastra sebagai ilmu?
4.
Apa
yang menjadi ontologi atau hakikat atau inti sastra atau kesusastraan?
5.
Apakah
Sastra atau kesusastraan itu seni atau bukan?
6.
Apakah
Sastra atau kesusastraan itu media komunikasi atau bukan?
7.
Bagaimana
asksiologi sastra?
Pengertian
Ilmu
Sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan memiliki kriteria, yaitu mempunyai ontologi, mempunyai
epistemologi dan mempunyai aksiologi. Ontologi ada yang menyebutnya dengan
istilah teori kebenaran. Ontologi adalah hakikat, inti, atau esensi. Ontologi
membahas tentang hakikat, inti, atau esensi dari yang disebut pengetahuan atau
dengan kata lain ontologi mengkaji tentang ‘realitas sejati’ dari pengetahuan.
Maka, yang dipertanyakan dalam ontologi ini apakah hakikat atau inti esensi dari
pengetahuan tersebut. Misalnya apakah hakikat, esensi dari sastra, apakah
hakikat, esensi dari komunikasi, dan sebagainya. Epistemologi adalah pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan (Pranarka, 1987:3). Epistemologi mengkaji tentang validitas
(keabsahan) dan batas-batas ilmu pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan melalui proses tertentu, yang dinamakan metode keilmuan. Metode
keilmuan ini ada dua pertama metode deduksi dan kedua metode induksi. Aksiologi atau mengenai hal-hal yang
normatif. Misalnya kegunaan ilmu. Manfaat atau kegunaan apakah yang dapat
langsung dirasakan atau tidak langsung, sejauh mana dampak atau pengaruhnya
terhadap manusia, dan sebagainya.
Ilmu memiliki sifat sebagai berikut
(Bawa, 2003:12-13):
a. Bersifat akumulatif dan milik bersama.
Artinya hasil dari setiap ilmu boleh dipakai oleh siapa saja.
b. Hasil ilmu tidak bersifat mutlak,
artinya ilmu tidak terlepas dari kesalahan (bukan kesalahan metodenya)
c. Ilmu itu obyektif artinya berdasarkan
d. fakta dan atau faktual, bukan berasal
dari
e. intuisi pribadi, atau hal-hal yang
gaib.
Menurut Ralph Rose dan Ernest Van den Haag, bahwa sifat
ilmiah adalah,
a.
Rasional.
b.
Bersifat empiris
c.
Bersifat umum, dan
d. Ilmu bersifat
akumulatif.
Hakikat ilmu adalah esensi, inti dari pengetahuan.
Esensi atau hakikat ilmu bahwa ilmu mempunyai ontologi (hakikat atau esensi),
mempunyai epistemologi (metode atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar),
sehingga jelas batas-batasnya antara ilmu pengetahuan yang satu dengan ilmu
pengetahuan yang lainnya, dan mempunyai aksiologi yaitu kegunaan atau
kemanfaatan ilmu pengetahuan. Sifat ilmu adalah kumulatif, tidak bersifat
mutlak, obyektif, rasional, bersifat empiris, bersifat umum.
PENGERTIAN
SASTRA
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa sansekerta; akar kata
sas biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka itu sastra dapat berarti
alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan
su berarti baik, indah, sehingga
susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw. 1988:23).
Dalam Kamus Sinonim Bahasa Indonesia
yang disusun oleh Kridalaksana (1977:154), sastra bersinonim dengan bahasa
indah, pustaka, buku, persuratan. Kesusastraan bersinonim dengan literatur,
kepustakaan, seni kata. Sastrawan bersinonim pujangga, pengarang, penyair.
Eagleton (1988:1-2) mengatakan
kesusastraan adalah karya tulisan yang bersifat "imajinatif. Kesusastraan
adalah sejenis karya tulisan yang mewakili suatu keganasan yang teratur terhadap pertutur an biasa.
Kesusastraan mengubah dan memadatkan bahasa harian.
Luxemburg, dkk. (1984:5,9) mengatakan
kesusastraan merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Sastra bukanlah sebuah
benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu
diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan
kebudayaan.
Menurut Ahmad (1952:6) kesusastraan
ialah himpunan segala sastera atau karangan yang indah, karangan yang baik.
Kesusastraan atau seni sastra ialah segala pensahiran pikiran atau perasaan
dengan memakai alat bahasa, baik dengan lisan maupun tulisan yang memenuhi
syarat-syarat kesenian. Sedangkan menurut Nasution, dkk (1973: 11) kesusastraan
ialah segala karangan yang baik bentuk dan isinya, yang dimaksud bentuk dan isi
ialah pemakaian bahasa dan teknik pengolahan sesuatu karangan, sedangkan isi,
berarti pikiran atau ide yang dikemukakan. Kemudian berdasarkan Simposium
Bahasa dan Kesusastraan Indonesia pada tanggal 25-28 Oktober 1966 (1967:184),
diungkapkan kesusastraan adalah sebuah peristiwa seni yang memakai bahasa
sebagai mediumnya. Di samping itu,
sastra sebagai ilmu menurut Teeuw (1988:120) menunjukkan keistimewaan,
barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang
ilmu pengetahuan lain yaitu obyek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak
karuan.
Sebagai kegiatan kreatif karya sastra
adalah sebuah seni bahasa. Bersifat imajinatif, berarti kalaupun realitas yang
disajikan sebuah karya sastra adalah sebuah realitas yang sungguh-sungguh ada,
seolah-olah dapat dijadikan studi sejarah misalnya, tetapi realitas seperti ini
adalah realitas yang sudah dimodifikasi, direkonstruksi oleh seorang pengarang
berdasarkan kehendak hatinya.
Dalam hal ini maka pendekatan karya sastra
dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan pendekatan instrinsik
dan ekstrinsik. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam istilah saja. Pada
kenyataannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling mengisi,
saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah karya sastra,
bukan saling berbeda, sebab kalau pembicaraan terhadap sebuah karya sastra
lebih ditekankan ke segi ekstrinsiknya, pembicaraan karya sastra menjadi lain,
boleh jadi bukan lagi pembicaraan tentang kesusastraan. Menekankan ke bidang
sosiologi misalnya, akan menjadi semacam uraian tentang sosiologi. Menekankan
kepada bidang sejarah misalnya, akan menjadi semacam pembicaraan tentang
sejarah. Jadi, walaupun pengertian sastra dan ilmu sastra samar-samar,
setidak-tidaknya karya sastra mengandung tujuh unsur (Aminuddin, 1987: 51).,
yaitu unsur kebahasaan,struktur wacana, signifikan
sastra, keindahan, sosial budaya,, nilai, baik nilai filsafat, agama, maupun
psikologi, serta , latar kesejarahannya
SASTRA
SEBAGAI ILMU
Syarat Ilmu
Seperti telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa sesuatu itu dapat digolongkan menjadi ilmu harus memiliki ontologi,
epistemologi, aksiologi (deontologi). Pertanyaan kemudian, bagaimana ontologi
sastra sebagai ilmu? Bagaimana epistemologi sastra sebagai ilmu dan bagaimana
aksiologi sastra sebagai ilmu?
Ontologi Sastra
Apa yang
menjadi ontologi atau hakikat atau inti sastra atau kesusastraan? Apakah Sastra
atau kesusastraan itu seni atau bukan. Apakah Sastra atau kesusastraan itu
media komunikasi atau bukan? Dengan terjawab hakikat sastra ini, maka semakin
jelas terjawab masalah epistemologi sastra atau kesusastraan. Nyatanya hingga
kini, apa ontologi sastra belum terjawab.
Ontologi
|
Arahan Epistimologi
|
Sastra sebagai bahasa
|
Ilmu-ilmu tentang kebahasaan
|
Sastra sebagai seni
|
Ilmu-ilmu tentang seni dan estetika
|
Sastra sebagai komunikasi
|
Ilmu-ilmu tentang komunikasi
|
Sastra sebagi simbol
|
Ilmu-ilmu mengenai simbol
|
Sastra sebagai hiburan
|
Kajian budaya populer
|
Epistimologi
|
Disiplin ilmu yang
terkait
|
Ilmu-ilmu tentang Bahasa
|
Semantik, sintaksis dan pendukung lainnya
|
Ilmu-ilmu tentang seni
|
Seni dan estetika
|
Ilmu-ilmu tentang komunikasi
|
Komunikasi, sosial dan lainnya
|
Ilmu-ilmu tentang simbol
|
Hermenutika, Analisis, Wacana, Simbolisme,
Dekonstruksi, Semiotics dan sebagainya.
|
Kajian budaya populer
|
Psikologi,
sosial, budaya, humaniora dan sebagainya.
|
Di
sinilah keunikan sastra sebagai ilmu, sastra sebagai ilmu mempunyai lebih dari
satu ontologi, hakikat, atau esensinya. Ontologi, hakekat, esensi yang berbeda,
menghasilkan, atau memerlukan metode pengkajian yang berbeda pula. Hal inilah
yang menyebabkan dalam tataran epistemologi, banyak metode pendekatan,
pengkajian terhadap sastra.
Epistemologi
Sastra
Berdasarkan
lima ontologi sastra tersebut, maka epistemologi sastra itu, bergantung dari
ontologi yang dipahami. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka
epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebahasaaan yang mengkaji baik tat bahasa,
kegunaan bahasa, maupun makna dari penggunaan bahasa.. Bila kita menganggap
sastra sebagai seni, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kesenian, bagaimana
sastra tersebut memiliki nilai estetis dan keindahan dalam karyanya. Bila kita
menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya adalah ilmu
komunikasi, bagaimana sastra tersebut memiliki fungsi untuk menyampaikan
sesuatu, baikitu secara tersirat maupun tersurat. Bila kita menganggap sastra
sebagai simbol, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu tentang simbol yang
mengkaji makna dari penggunaan simbl dalam suatu karya. Bila kita menganggap sastra sebagai
hiburan, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebudayaan populer atau esensi
sebagi media yang memberikan efek secara emosional dan psikologis
Aksiologi
Sastra
Bagaimana asksiologi sastra? Bila mengikuti
ontologi atau hakikat atau esensi sastra darai pemaparan di poin sebelumnya,
maka aksiologi sastra adalah:
a.
Karya
Sastra harus mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
b.
Karya
Sastra harus membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
c.
Karya
Sastra harus menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.
d.
Karya
Sastra harus memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
e.
Karya
Sastra harus menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
f.
Karya
Sastra harus mampu memberikan hiburan bagi penikmatnya.
Maka
yang menjadi aksiologi sastra adalah keenam unsur di at as. Soal apakah keenam
unsur ini terdapat di dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi masalah
lain.
Empat
Sifat Sastra sebagai Ilmu
Pendekatan
terhadap karya sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan
pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam
istilah saja. Pada kenyatannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya
saling mengisi, saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah
karya sastra. Namun studi sastra sebagai bagian dari cabang ilmu pengetahuan,
mempunyai empat sifat:
Sifat
|
Penjelasan
|
Kumulatif
|
Sastra
sebagai ilmu ber-sifat kumulatif. Artinya sastra sebagai ilmu tidak sekaligus
jadi, tetapi di-bentuk berdasarkan kajian-kajian atau penelitian-penelitian
sebelumnya. Teori-teorinya selalu di-sempurnakan, ditambah, diperbaiki
sehingga mampu menampung dinamika yang tumbuh di dalam sastra itu sendiri.
Sebagai contoh semakin berva-riasinya pendekatan-pen-dekatan terhadap karya sastra
menunjukkan kepa-da kita pendekatan-pen-dekatan tersebut mencoba menampung
dinamika yang berkembang yang terdapat pada sebuah karya sastra, artinya
kelemahan pendekatan yang satu dicoba tampung pada pendekatan yang lainnya.
|
Empiris
|
Berdasarkan
sifat kumulatifnya, maka sastra sebagai ilmu didasarkan kepada penelitian dan
pengkajian sebelumnya. Kenyataan atau realitas karya sastra tidak saja
bersifat fakta tetapi juga faktual. Faktual di sini adalah berupa teori
kajian yang berdasarkan hasil penelitian para ahli sastra sebeluymnya.
Sehingga teori yang di paparkan berdasarkan hasil yang faktual dari para
ahlli sastra. Terlepas dari karya sastra yang baik itu imajinatif maupun
berdarar dari realitas.
|
Teoritis
|
Sastra
sebagai ilmu mempunyai teori. Teori ini disusun berdasarkan pene-litian dan
kajian terhadap karya-karya sebelumnya.
|
Bebas
|
Artinya
dalam upaya memahami dan menjelas-kan sebuah karya sastra, sastra sebagai
ilmu tidak menilai dari segi moral seperti buruk dan baik, atau hitam-putih.
Sehingga dalamm pemahamannya subjek sangat berperan penting. Sejauh mana
perspektifnya terhadap karya
|
Jadi,
sastra sebagai disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain.
Sedangkan kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika
yang terdapat di dalam karya sastra tersebut, sebab (karya) sastra itu dapat dilihat,
didekati, dibicarakan dari berbagai sudut dan kepentingan. Namun sastra sebagai
kajian, atau kritik, mungkin sulit melepaskan dirinya dari penilaian baik dan
buruk.Adapun beberapa pendekatan yang lazim dipergunakan dalam pemahami karya
sastra antara lain, ilmu sosiologi, melahirkan sosiologi sastra, psikologi
melahirkan psikologi sastra, sejarah dan politik, filsafat, strukturalisme,
semiotik, dan lainnya.
Berdasarkan
uraian di atas, jelaslah bahwa sastra itu bukan bagian dari bahasa walaupun
sastra mempergunakan bahasa sebagai medianya. Demikian juga halnya dengan
disiplin ilmu sastra, disiplin ilmu sastra bukan bagian dari ilmu bahasa
(linguistik). Hubungan antara ilmu sastra dengan ilmu bahasa saling melengkapi,
bukan saling menaklukkan. Sastra memberi arti kepada bahasa dan bahasa juga
memberi arti kepada sastra. Pengembangan ilmu sastra sebagai sebuah di siplin
ilmu tidak akan mampu mengarah kepada dinamika yang diperlukan oleh dinamika
yang berkembang di dalam karya sastra itu sendiri.
Sastra
adalah bagian dari kebudayaan bukan bagian dari bahasa. Sastra sebagai bagian dari
kebudayaan harus dilihat dalam pengertian luas yang berdimensi multi, sebab
kalau tidak demikian, kita tidak akan pernah memahami alasan-alasan yang
diberlakukan misalnya oleh Kejaksaan Agung ketika melarang buku-buku fiksi tertentu,
atau memahami polisi dalam tidak memberikan izin terhadap pementasan-pementasan
seperti baca puisi. Sumbangan karya sastra sebagai karya fiksi dalam
menghumanisasikan kehidupan memang bagus, namun sumbangan sastra sebagai ilmu
bagi pengembangan interdisiplin juga menjadi penting di masa depan.
Daftar
Pustaka
Eagleton, Terry. 1988. Teori
Kesusastraan Suatu Pengenalan , terjemahan Muhammad Hj. Saleh. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Fisafat , Buku I, II dan III.
Jakarta: Bulan Bintang.
Gie, The Liang. 2000. Pengantar
Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Pranarka, A.M.W. 1987. Epistemologi
Dasar Suatu Pengantar . Jakarta: CSIS.
Rene Wellek dan Austin Warren, 1989. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus
Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Gramedia, Jakarta.
Sumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung:
ITB Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar