Jumat, 31 Oktober 2014

Resimah

                                             
Sastra Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Rumusan Masalah
1.    bagaimana ontologi sastra sebagai ilmu?
2.    Bagaimana epistemologi sastra sebagai ilmu?
3.    bagaimana aksiologi sastra sebagai ilmu?
4.    Apa yang menjadi ontologi atau hakikat atau inti sastra atau kesusastraan?
5.    Apakah Sastra atau kesusastraan itu seni atau bukan?
6.    Apakah Sastra atau kesusastraan itu media komunikasi atau bukan?
7.    Bagaimana asksiologi sastra?
Pengertian Ilmu
Sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan memiliki kriteria, yaitu mempunyai ontologi, mempunyai epistemologi dan mempunyai aksiologi. Ontologi ada yang menyebutnya dengan istilah teori kebenaran. Ontologi adalah hakikat, inti, atau esensi. Ontologi membahas tentang hakikat, inti, atau esensi dari yang disebut pengetahuan atau dengan kata lain ontologi mengkaji tentang ‘realitas sejati’ dari pengetahuan. Maka, yang dipertanyakan dalam ontologi ini apakah hakikat atau inti esensi dari pengetahuan tersebut. Misalnya apakah hakikat, esensi dari sastra, apakah hakikat, esensi dari komunikasi, dan sebagainya.  Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan (Pranarka, 1987:3). Epistemologi mengkaji tentang validitas (keabsahan) dan batas-batas ilmu pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses tertentu, yang dinamakan metode keilmuan. Metode keilmuan ini ada dua pertama metode deduksi dan kedua metode induksi.  Aksiologi atau mengenai hal-hal yang normatif. Misalnya kegunaan ilmu. Manfaat atau kegunaan apakah yang dapat langsung dirasakan atau tidak langsung, sejauh mana dampak atau pengaruhnya terhadap manusia, dan sebagainya.
Ilmu memiliki sifat sebagai berikut (Bawa, 2003:12-13):
a.      Bersifat akumulatif dan milik bersama. Artinya hasil dari setiap ilmu boleh dipakai oleh siapa saja.
b.      Hasil ilmu tidak bersifat mutlak, artinya ilmu tidak terlepas dari kesalahan (bukan kesalahan metodenya)
c.      Ilmu itu obyektif artinya berdasarkan
d.      fakta dan atau faktual, bukan berasal dari
e.      intuisi pribadi, atau hal-hal yang gaib.
Menurut Ralph Rose dan Ernest Van den Haag, bahwa sifat ilmiah adalah, 
a.   Rasional.
b.   Bersifat empiris
c.   Bersifat umum, dan
d.   Ilmu bersifat akumulatif.  
  Hakikat ilmu adalah esensi, inti dari pengetahuan. Esensi atau hakikat ilmu bahwa ilmu mempunyai ontologi (hakikat atau esensi), mempunyai epistemologi (metode atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar), sehingga jelas batas-batasnya antara ilmu pengetahuan yang satu dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dan mempunyai aksiologi yaitu kegunaan atau kemanfaatan ilmu pengetahuan. Sifat ilmu adalah kumulatif, tidak bersifat mutlak, obyektif, rasional, bersifat empiris, bersifat umum. 
 PENGERTIAN SASTRA
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta; akar kata  sas biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su   berarti baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw. 1988:23).
Dalam Kamus Sinonim Bahasa Indonesia yang disusun oleh Kridalaksana (1977:154), sastra bersinonim dengan bahasa indah, pustaka, buku, persuratan. Kesusastraan bersinonim dengan literatur, kepustakaan, seni kata. Sastrawan bersinonim pujangga, pengarang, penyair.
Eagleton (1988:1-2) mengatakan kesusastraan adalah karya tulisan yang bersifat "imajinatif. Kesusastraan adalah sejenis karya tulisan yang mewakili suatu  keganasan yang  teratur terhadap pertutur an biasa. Kesusastraan mengubah dan memadatkan bahasa harian.
Luxemburg, dkk. (1984:5,9) mengatakan kesusastraan merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. 
Menurut Ahmad (1952:6) kesusastraan ialah himpunan segala sastera atau karangan yang indah, karangan yang baik. Kesusastraan atau seni sastra ialah segala pensahiran pikiran atau perasaan dengan memakai alat bahasa, baik dengan lisan maupun tulisan yang memenuhi syarat-syarat kesenian. Sedangkan menurut Nasution, dkk (1973: 11) kesusastraan ialah segala karangan yang baik bentuk dan isinya, yang dimaksud bentuk dan isi ialah pemakaian bahasa dan teknik pengolahan sesuatu karangan, sedangkan isi, berarti pikiran atau ide yang dikemukakan. Kemudian berdasarkan Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia pada tanggal 25-28 Oktober 1966 (1967:184), diungkapkan kesusastraan adalah sebuah peristiwa seni yang memakai bahasa sebagai mediumnya.   Di samping itu, sastra sebagai ilmu menurut Teeuw (1988:120) menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain yaitu obyek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak karuan.
      Sebagai kegiatan kreatif karya sastra adalah sebuah seni bahasa. Bersifat imajinatif, berarti kalaupun realitas yang disajikan sebuah karya sastra adalah sebuah realitas yang sungguh-sungguh ada, seolah-olah dapat dijadikan studi sejarah misalnya, tetapi realitas seperti ini adalah realitas yang sudah dimodifikasi, direkonstruksi oleh seorang pengarang berdasarkan kehendak hatinya.
      Dalam hal ini maka pendekatan karya sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam istilah saja. Pada kenyataannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling mengisi, saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah karya sastra, bukan saling berbeda, sebab kalau pembicaraan terhadap sebuah karya sastra lebih ditekankan ke segi ekstrinsiknya, pembicaraan karya sastra menjadi lain, boleh jadi bukan lagi pembicaraan tentang kesusastraan. Menekankan ke bidang sosiologi misalnya, akan menjadi semacam uraian tentang sosiologi. Menekankan kepada bidang sejarah misalnya, akan menjadi semacam pembicaraan tentang sejarah. Jadi, walaupun pengertian sastra dan ilmu sastra samar-samar, setidak-tidaknya karya sastra mengandung tujuh unsur (Aminuddin, 1987: 51)., yaitu unsur kebahasaan,struktur  wacana, signifikan sastra, keindahan, sosial budaya,, nilai, baik nilai filsafat, agama, maupun psikologi, serta , latar kesejarahannya
SASTRA SEBAGAI ILMU

Syarat Ilmu
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sesuatu itu dapat digolongkan menjadi ilmu harus memiliki ontologi, epistemologi, aksiologi (deontologi). Pertanyaan kemudian, bagaimana ontologi sastra sebagai ilmu? Bagaimana epistemologi sastra sebagai ilmu dan bagaimana aksiologi sastra sebagai ilmu?
Ontologi Sastra
Apa yang menjadi ontologi atau hakikat atau inti sastra atau kesusastraan? Apakah Sastra atau kesusastraan itu seni atau bukan. Apakah Sastra atau kesusastraan itu media komunikasi atau bukan? Dengan terjawab hakikat sastra ini, maka semakin jelas terjawab masalah epistemologi sastra atau kesusastraan. Nyatanya hingga kini, apa ontologi sastra belum terjawab.
Ontologi
Arahan Epistimologi
Sastra sebagai bahasa
Ilmu-ilmu tentang kebahasaan
Sastra sebagai seni
Ilmu-ilmu tentang seni dan estetika
Sastra sebagai komunikasi
Ilmu-ilmu tentang komunikasi
Sastra sebagi simbol
Ilmu-ilmu mengenai simbol
Sastra sebagai hiburan
Kajian budaya populer


Epistimologi
Disiplin ilmu yang terkait
Ilmu-ilmu tentang Bahasa
Semantik, sintaksis dan pendukung lainnya
Ilmu-ilmu tentang seni
Seni dan estetika
Ilmu-ilmu tentang komunikasi
Komunikasi, sosial dan lainnya
Ilmu-ilmu tentang simbol
Hermenutika, Analisis, Wacana, Simbolisme, Dekonstruksi, Semiotics dan sebagainya.
Kajian budaya populer
Psikologi, sosial, budaya, humaniora dan sebagainya.

        Di sinilah keunikan sastra sebagai ilmu, sastra sebagai ilmu mempunyai lebih dari satu ontologi, hakikat, atau esensinya. Ontologi, hakekat, esensi yang berbeda, menghasilkan, atau memerlukan metode pengkajian yang berbeda pula. Hal inilah yang menyebabkan dalam tataran epistemologi, banyak metode pendekatan, pengkajian terhadap sastra.
Epistemologi Sastra
        Berdasarkan lima ontologi sastra tersebut, maka epistemologi sastra itu, bergantung dari ontologi yang dipahami. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebahasaaan yang mengkaji baik tat bahasa, kegunaan bahasa, maupun makna dari penggunaan bahasa.. Bila kita menganggap sastra sebagai seni, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kesenian, bagaimana sastra tersebut memiliki nilai estetis dan keindahan dalam karyanya. Bila kita menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya adalah ilmu komunikasi, bagaimana sastra tersebut memiliki fungsi untuk menyampaikan sesuatu, baikitu secara tersirat maupun tersurat. Bila kita menganggap sastra sebagai simbol, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu tentang simbol yang mengkaji makna dari penggunaan simbl dalam suatu  karya. Bila kita menganggap sastra sebagai hiburan, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebudayaan populer atau esensi sebagi media yang memberikan efek secara emosional dan psikologis
Aksiologi Sastra
Bagaimana asksiologi sastra? Bila mengikuti ontologi atau hakikat atau esensi sastra darai pemaparan di poin sebelumnya, maka aksiologi sastra adalah:
a.    Karya Sastra harus mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
b.    Karya Sastra harus membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
c.    Karya Sastra harus menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.
d.    Karya Sastra harus memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
e.    Karya Sastra harus menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
f.     Karya Sastra harus mampu memberikan hiburan bagi penikmatnya.
        Maka yang menjadi aksiologi sastra adalah keenam unsur di at as. Soal apakah keenam unsur ini terdapat di dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi masalah lain.

Empat Sifat Sastra sebagai Ilmu
        Pendekatan terhadap karya sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam istilah saja. Pada kenyatannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling mengisi, saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah karya sastra. Namun studi sastra sebagai bagian dari cabang ilmu pengetahuan, mempunyai empat sifat:

Sifat
Penjelasan








Kumulatif
Sastra sebagai ilmu ber-sifat kumulatif. Artinya sastra sebagai ilmu tidak sekaligus jadi, tetapi di-bentuk berdasarkan kajian-kajian atau penelitian-penelitian sebelumnya. Teori-teorinya selalu di-sempurnakan, ditambah, diperbaiki sehingga mampu menampung dinamika yang tumbuh di dalam sastra itu sendiri. Sebagai contoh semakin berva-riasinya pendekatan-pen-dekatan terhadap karya sastra menunjukkan kepa-da kita pendekatan-pen-dekatan tersebut mencoba menampung dinamika yang berkembang yang terdapat pada sebuah karya sastra, artinya kelemahan pendekatan yang satu dicoba tampung pada pendekatan yang lainnya.




Empiris
Berdasarkan sifat kumulatifnya, maka sastra sebagai ilmu didasarkan kepada penelitian dan pengkajian sebelumnya. Kenyataan atau realitas karya sastra tidak saja bersifat fakta tetapi juga faktual. Faktual di sini adalah berupa teori kajian yang berdasarkan hasil penelitian para ahli sastra sebeluymnya. Sehingga teori yang di paparkan berdasarkan hasil yang faktual dari para ahlli sastra. Terlepas dari karya sastra yang baik itu imajinatif maupun berdarar dari realitas.

Teoritis
Sastra sebagai ilmu mempunyai teori. Teori ini disusun berdasarkan pene-litian dan kajian terhadap karya-karya sebelumnya.


Bebas
Artinya dalam upaya memahami dan menjelas-kan sebuah karya sastra, sastra sebagai ilmu tidak menilai dari segi moral seperti buruk dan baik, atau hitam-putih. Sehingga dalamm pemahamannya subjek sangat berperan penting. Sejauh mana perspektifnya terhadap karya

        Jadi, sastra sebagai disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain. Sedangkan kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika yang terdapat di dalam karya sastra tersebut, sebab (karya) sastra itu dapat dilihat, didekati, dibicarakan dari berbagai sudut dan kepentingan. Namun sastra sebagai kajian, atau kritik, mungkin sulit melepaskan dirinya dari penilaian baik dan buruk.Adapun beberapa pendekatan yang lazim dipergunakan dalam pemahami karya sastra antara lain, ilmu sosiologi, melahirkan sosiologi sastra, psikologi melahirkan psikologi sastra, sejarah dan politik, filsafat, strukturalisme, semiotik, dan lainnya. 
        Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa sastra itu bukan bagian dari bahasa walaupun sastra mempergunakan bahasa sebagai medianya. Demikian juga halnya dengan disiplin ilmu sastra, disiplin ilmu sastra bukan bagian dari ilmu bahasa (linguistik). Hubungan antara ilmu sastra dengan ilmu bahasa saling melengkapi, bukan saling menaklukkan. Sastra memberi arti kepada bahasa dan bahasa juga memberi arti kepada sastra. Pengembangan ilmu sastra sebagai sebuah di siplin ilmu tidak akan mampu mengarah kepada dinamika yang diperlukan oleh dinamika yang berkembang di dalam karya sastra itu sendiri.
        Sastra adalah bagian dari kebudayaan bukan bagian dari bahasa. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan harus dilihat dalam pengertian luas yang berdimensi multi, sebab kalau tidak demikian, kita tidak akan pernah memahami alasan-alasan yang diberlakukan misalnya oleh Kejaksaan Agung ketika melarang buku-buku fiksi tertentu, atau memahami polisi dalam tidak memberikan izin terhadap pementasan-pementasan seperti baca puisi. Sumbangan karya sastra sebagai karya fiksi dalam menghumanisasikan kehidupan memang bagus, namun sumbangan sastra sebagai ilmu bagi pengembangan interdisiplin juga menjadi penting di masa depan.



Daftar Pustaka
Eagleton, Terry. 1988.  Teori Kesusastraan Suatu Pengenalan , terjemahan Muhammad Hj. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Fisafat , Buku I, II dan III. Jakarta: Bulan Bintang.
Gie, The Liang. 2000.  Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Pranarka, A.M.W. 1987.  Epistemologi Dasar Suatu Pengantar . Jakarta: CSIS.
Rene Wellek dan Austin Warren, 1989.  Teori Kesusastraan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
 Sudjiman, Panuti. 1986.  Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Gramedia, Jakarta.
 Sumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
 Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar