Jumat, 31 Oktober 2014

Reni Murniati


            Kajian Ontologi dalam Novel Dunia Sophie
Karya Jostein Gaarder
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Memberikan definisi atau batasan tentang filsafat bukan perkara mudah, karena bagaimana mungkin membatasi pengetahuan yang radikal dan tanpa batas dengan pembatasan-pembatasan yang menutup ruang geraknya. Secara logika, mendefinisikan berarti membatasi suatu terminology atau konsep agar dengan mudah dapat dibedakan dengan konsep lainnya, sebagaimana terjadinya perbedaan definitive antara ilmu dan pengetahuan serta antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Akan tetapi, salah satu kerja filsafat adalah memberikan batasan, terpaksa ia pun harus menerima untuk dibatasi. Semua konsep secara logika diberikan pengertian-pengertian yang menbatasinya, sebgaimana filsafat yang biasanya memberikan pengertian terhadap konsep diluar dirinya akhirnya wajib membatasi dirinya sendiri.
Fisafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis tentu tidak loncat-loncat melainkan mengikuti aturan main yang benar. Lalu, apa dan bagaimana aturan mainnya sehingga berfilsafat diartikan sebagai berfikir sistematis. Oleh karena alasan tersebut, maka pada makalah mini research ini penulis akan membahas mengenai kajian yang paling utama yaitu ontology, dalam karya sastra tepatnya dalam novel “Dunia Sophie karya Jostein Gaarder”.
Ontologi dapat disebut juga sebagai Teori Hakikat. Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencangkup hakikat pengetahuan dan hakikat nilai. Ada beberapa aliran yang muncul dalam kajian ontologi diantaranya yaitu aliran Materialisme, Idealisme, Dualisme, Skeptisisme dan masih banyak lagi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Mengetahui Aliran Idealisme
2.      Mengetahui contoh aliran Idealisme yang terdapat dalam novel Dunia Sophie
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aliran Idealisme

Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata Idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh Plato dan pada filsafat modern dipelopori oleh J.G Fichte, Schelling dan Hegel.
Idealism mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis, karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Mereka menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan Tuhan. Argumen orang-orang idealis mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.
Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan Rasionalisme. Ini adalah mahzab epistemologi yang mengajarkan pengetahuan apriori atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistemologi adalah empiris yang mengatakan bahwa penegatahuan bukan diperoleh melalui rasio atau akal, melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empiris amat sulit menerima paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung pada jiwa atau roh, karena pandangan itu melibatka dogma metafisik.
Plato sering disebut sebagai seorang idealis sekalipun idenya tidak khusus (spesifik) mental, tetapi lebih merupakan objek universal (mirip definisi pada Aristoteles, pngertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia sependapat dengan idealisme modern yang mengajarkan bahwa baik hakikat penampakan (yang tampak) itu berwatak khas spiritual. Ini telihat jelas pada legenda manusia “gua-nya” yang terkenal. Pandangan ini dikembangkan oleh Plotinus.
B.     Analisis Novel

Sesuai dengan pengertian diatas bahwa Idealisme adalah aliran yang meyakini bahwa segala sesuatu bersumber dari Ide. Sesuai kutipan yang terdapat dalam novel seperti berikut:
“Dia ingat bagaimana dia dulu dan ayahnya pergi berbelanja, sementara ibunya sibuk memanggang kue-kue Natal. Ketika mereka kembali, ada banyak kue jahe berbentuk orang terletak dimeja dapur. Meskipun mereka tidak sempurna, dalam hal tertentu mereka semua sama. Dan mengapa begitu? Jelas karena ibunya telah menggunakan cetakan yang sama”
Dari kutipan diatas kita bisa melihat contoh dari idealisme, yakni tentang “Kue Jahe dan Cetakan”. Banyaknya kue jahe dimeja dapur dapat diibaratkan sebagai sesuatu atau apa-apa saja yang ada di dunia ini. Sedang cetakan adalah Ide yang mendasari terciptanya sesuatu itu. Jadi bagaimanapun keadaan atau apa yang dapat disaksikan oleh panca indera, sesungguhnya itu hanyalah ciptaan dari dunia ide tersebut, seperti halnya cetakan kue yang bisa menghasilkan banyaknya kue-kue jahe yang walaupun mereka tidak sempurna tapi pada hakikatnya mereka sama.
Dalam pembahasan lain, Plato dengan Ide-nya juga mengemukakan tentang konsep “Keabadian” yang dalam hal ini erat kaitannya dengan jiwa. Bisa kita lihat pada kutipan berikut:
“Selanjutnya, Plato mengajukan pertanyaan yang benar-benar sulit. Apakah manusia mempunyai jiwa yang kekal?. Itu adalah sesuatu yang Sophie merasa tidak sanggup menjawab”.
Kutipan diatas menjelaskan bagaimana Plato memiliki pemahaman bahwa sebuah keabadian dalam jiwa manusia. Walaupun yang kita tahu adalah bahwa tubuh-tubuh yang telah mati biasanya dibakar ataupun dikubur, sehingga tidak ada masa depan lagi bagi mereka. Jika manusia mempunyai jiwa yang kekal, berarti kita harus percaya bahwa seseorang terdiri dari dua bagian yang terpisah. Yaitu tubuh yang akan menjadi rusak setelah lewat bertahun-tahun, dan jiwa yang bekerja secara mandiri di luar apa yang menimpa tubuh.
Secara ringkas, kita dapat memastikan bahwa Plato memikirkan hubungan antara yang kekal dan abadi di satu pihak dan yang berubah di pihak lain. Dia memikirkan apa yang kekal dan abadi di alam dan apa yang kekal dan abadi dalam kaitannya dengan moral dan masyarakat. Bagi Plato, kedua masalah ini sama. Dia berusaha untuk menangkap suatu realitas yang kekal dan abadi. Plato percaya bahwa jiwa telah ada sebelum ia mendiami tubuh. Seperti halnya “cetakan kue”, jiwa berada bersama seluruh cetakan kue tersebut.
Selain itu, Plato dengan idealismenya juga meyakini tentang konsep “Pengetahuan Sejati”. Untuk lebih jelas kita lihat dalam kutipan berikut:
“Segala sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun, sebab tidak ada sesuatu pun yang abadi di dunia inderawi. Kita tahu, tentu saja, bahwa cepat atau lambat setiap manusia dan setiap binatang akan mati dan membusuk. … kita hanya dapat mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dapat dipahami akal kita.”
Konsep pengetahuan sejati teletak pada pemahaman dan pengetahuan yang membentuk akal kita bahwa ada sesuatu yang bisa diyakini dan pasti akan terjadi. Seperti halnya bahwa semua manusia dan binatang “akan mati” dan membusuk. Pernyataan “akan mati” tersebut telah kita percayai dan bahkan akan selalu kita percayai, hal inilah yang oleh Plato disebut dengan “Pengetahuan Sejati”. Pendeknya, kita hanya dapat memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak tepat mengenai benda-benda yang kita lihat dengan indera kita. Tapi kita dapat memiliki pengetahuan sejati tentang benda-benda yang kita pahami dengan akal kita. Seperi misalnya, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat sampai kiamat nanti, dan pengetahuan inilah yang kemudian oleh Plato lagi-lagi dinamakan dengan “Pengetahuan Sejati”.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Fisafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis tentu tidak loncat-loncat melainkan mengikuti aturan main yang benar.
Ontologi dapat disebut juga sebagai Teori Hakikat. Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencangkup hakikat pengetahuan dan hakikat nilai. Salah satu aliran dari ontology adalah Idealisme.
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata Idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Gaarder, Jostein. 2010. Dunia Sophie. Bandung: miZan
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
Abdul Hakim, Atang. Dkk. 2008. Filsafat Umum. Bandung: CV PUSTAKA SETIA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar