Kajian
Ontologi dalam Novel Dunia Sophie
Karya Jostein Gaarder
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Memberikan
definisi atau batasan tentang filsafat bukan perkara mudah, karena bagaimana
mungkin membatasi pengetahuan yang radikal dan tanpa batas dengan
pembatasan-pembatasan yang menutup ruang geraknya. Secara logika,
mendefinisikan berarti membatasi suatu terminology atau konsep agar dengan
mudah dapat dibedakan dengan konsep lainnya, sebagaimana terjadinya perbedaan
definitive antara ilmu dan pengetahuan serta antara ilmu pengetahuan dan
filsafat. Akan tetapi, salah satu kerja filsafat adalah memberikan batasan,
terpaksa ia pun harus menerima untuk dibatasi. Semua konsep secara logika
diberikan pengertian-pengertian yang menbatasinya, sebgaimana filsafat yang
biasanya memberikan pengertian terhadap konsep diluar dirinya akhirnya wajib
membatasi dirinya sendiri.
Fisafat
adalah pencarian kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya
perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem
yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis
tentu tidak loncat-loncat melainkan mengikuti aturan main yang benar. Lalu, apa
dan bagaimana aturan mainnya sehingga berfilsafat diartikan sebagai berfikir
sistematis. Oleh karena alasan tersebut, maka pada makalah mini research ini
penulis akan membahas mengenai kajian yang paling utama yaitu ontology, dalam
karya sastra tepatnya dalam novel “Dunia Sophie karya Jostein Gaarder”.
Ontologi
dapat disebut juga sebagai Teori Hakikat. Bidang pembicaraan teori hakikat luas
sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencangkup
hakikat pengetahuan dan hakikat nilai. Ada beberapa aliran yang muncul dalam
kajian ontologi diantaranya yaitu aliran Materialisme, Idealisme, Dualisme,
Skeptisisme dan masih banyak lagi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Mengetahui
Aliran Idealisme
2. Mengetahui
contoh aliran Idealisme yang terdapat dalam novel Dunia Sophie
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran
Idealisme
Idealisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik dapat dipahami
dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata Idea,
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh Plato
dan pada filsafat modern dipelopori oleh J.G Fichte, Schelling dan Hegel.
Idealism
mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Teisme
yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis,
karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh
idealisme. Mereka menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik
pada akhirnya adalah ciptaan Tuhan. Argumen orang-orang idealis mengatakan
bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.
Idealisme
secara umum selalu berhubungan dengan Rasionalisme. Ini adalah mahzab
epistemologi yang mengajarkan pengetahuan apriori atau deduktif dapat diperoleh
manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistemologi adalah empiris
yang mengatakan bahwa penegatahuan bukan diperoleh melalui rasio atau akal,
melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empiris amat sulit menerima
paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung pada jiwa atau roh,
karena pandangan itu melibatka dogma metafisik.
Plato
sering disebut sebagai seorang idealis sekalipun idenya tidak khusus (spesifik)
mental, tetapi lebih merupakan objek universal (mirip definisi pada
Aristoteles, pngertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia sependapat dengan
idealisme modern yang mengajarkan bahwa baik hakikat penampakan (yang tampak)
itu berwatak khas spiritual. Ini telihat jelas pada legenda manusia “gua-nya”
yang terkenal. Pandangan ini dikembangkan oleh Plotinus.
B.
Analisis
Novel
Sesuai
dengan pengertian diatas bahwa Idealisme adalah aliran yang meyakini bahwa
segala sesuatu bersumber dari Ide. Sesuai kutipan yang terdapat dalam novel
seperti berikut:
“Dia
ingat bagaimana dia dulu dan ayahnya pergi berbelanja, sementara ibunya sibuk
memanggang kue-kue Natal. Ketika mereka kembali, ada banyak kue jahe berbentuk
orang terletak dimeja dapur. Meskipun mereka tidak sempurna, dalam hal tertentu
mereka semua sama. Dan mengapa begitu? Jelas karena ibunya telah menggunakan
cetakan yang sama”
Dari
kutipan diatas kita bisa melihat contoh dari idealisme, yakni tentang “Kue Jahe
dan Cetakan”. Banyaknya kue jahe dimeja dapur dapat diibaratkan sebagai sesuatu
atau apa-apa saja yang ada di dunia ini. Sedang cetakan adalah Ide yang
mendasari terciptanya sesuatu itu. Jadi bagaimanapun keadaan atau apa yang
dapat disaksikan oleh panca indera, sesungguhnya itu hanyalah ciptaan dari
dunia ide tersebut, seperti halnya cetakan kue yang bisa menghasilkan banyaknya
kue-kue jahe yang walaupun mereka tidak sempurna tapi pada hakikatnya mereka sama.
Dalam
pembahasan lain, Plato dengan Ide-nya juga mengemukakan tentang konsep
“Keabadian” yang dalam hal ini erat kaitannya dengan jiwa. Bisa kita lihat pada
kutipan berikut:
“Selanjutnya,
Plato mengajukan pertanyaan yang benar-benar sulit. Apakah manusia mempunyai
jiwa yang kekal?. Itu adalah sesuatu yang Sophie merasa tidak sanggup
menjawab”.
Kutipan
diatas menjelaskan bagaimana Plato memiliki pemahaman bahwa sebuah keabadian
dalam jiwa manusia. Walaupun yang kita tahu adalah bahwa tubuh-tubuh yang telah
mati biasanya dibakar ataupun dikubur, sehingga tidak ada masa depan lagi bagi
mereka. Jika manusia mempunyai jiwa yang kekal, berarti kita harus percaya
bahwa seseorang terdiri dari dua bagian yang terpisah. Yaitu tubuh yang akan
menjadi rusak setelah lewat bertahun-tahun, dan jiwa yang bekerja secara
mandiri di luar apa yang menimpa tubuh.
Secara
ringkas, kita dapat memastikan bahwa Plato memikirkan hubungan antara yang
kekal dan abadi di satu pihak dan yang berubah di pihak lain. Dia memikirkan
apa yang kekal dan abadi di alam dan apa yang kekal dan abadi dalam kaitannya
dengan moral dan masyarakat. Bagi Plato, kedua masalah ini sama. Dia berusaha
untuk menangkap suatu realitas yang kekal dan abadi. Plato percaya bahwa jiwa
telah ada sebelum ia mendiami tubuh. Seperti halnya “cetakan kue”, jiwa berada
bersama seluruh cetakan kue tersebut.
Selain
itu, Plato dengan idealismenya juga meyakini tentang konsep “Pengetahuan
Sejati”. Untuk lebih jelas kita lihat dalam kutipan berikut:
“Segala
sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun, sebab tidak ada sesuatu
pun yang abadi di dunia inderawi. Kita tahu, tentu saja, bahwa cepat atau
lambat setiap manusia dan setiap binatang akan mati dan membusuk. … kita hanya
dapat mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dapat dipahami
akal kita.”
Konsep
pengetahuan sejati teletak pada pemahaman dan pengetahuan yang membentuk akal
kita bahwa ada sesuatu yang bisa diyakini dan pasti akan terjadi. Seperti
halnya bahwa semua manusia dan binatang “akan mati” dan membusuk. Pernyataan
“akan mati” tersebut telah kita percayai dan bahkan akan selalu kita percayai,
hal inilah yang oleh Plato disebut dengan “Pengetahuan Sejati”. Pendeknya, kita
hanya dapat memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak tepat mengenai benda-benda
yang kita lihat dengan indera kita. Tapi kita dapat memiliki pengetahuan sejati
tentang benda-benda yang kita pahami dengan akal kita. Seperi misalnya, jumlah
sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat sampai kiamat nanti, dan
pengetahuan inilah yang kemudian oleh Plato lagi-lagi dinamakan dengan
“Pengetahuan Sejati”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fisafat
adalah pencarian kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya
perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem
yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis
tentu tidak loncat-loncat melainkan mengikuti aturan main yang benar.
Ontologi
dapat disebut juga sebagai Teori Hakikat. Bidang pembicaraan teori hakikat luas
sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencangkup
hakikat pengetahuan dan hakikat nilai. Salah satu aliran dari ontology adalah
Idealisme.
Idealisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik dapat dipahami
dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata Idea,
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
DAFTAR
PUSTAKA
Gaarder,
Jostein. 2010. Dunia Sophie. Bandung:
miZan
Tafsir, Ahmad.
1990. Filsafat Umum. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
Abdul Hakim,
Atang. Dkk. 2008. Filsafat Umum. Bandung: CV PUSTAKA SETIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar