PERANAN
SYARAT ILMU TERHADAP PUISI “FIRE AND ICE”
KARYA
ROBERT FROST
Oleh
: Nisa Nadya Silmy (1211503087)
BAB
I
PENDAHULUAN
Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang
berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary,
epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or
science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its
limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu
pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya
pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
Epistemologi atau Filsafat pengetahuan
merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat
pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang
dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus
hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia
Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu atau pengetahuan atau kepandaian
tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb. Contoh, Ilmu Sastra. Menurut Jan van
Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Ilmu Sastra adalah ilmu yang
mempelajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam
masyarakat. Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra
(sifat-sifat atau ciri-ciri khas kesastraan dan fungsi sastra dalam masyarakat)
secara umum dan sistematis. Teori Sastra merumuskan kaidah-kaidah dan
konvensi-konvensi kesusastraan umum. Kegunaan Ilmu Sastra adalah membantu kita
untuk mengerti teks itu secara lebih baik sehingga kita lebih tertarik untuk
membaca karya-karya sastra.
Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait
dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul
teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi
sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif
sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah
sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya
dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan
dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan
periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini
mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun
pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun
demikian, dalam praktiknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya
sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.
Terdapat berbagai macam definisi
mengenai sastra. Namun hingga saat ini definisi tentang sastra masih sering
diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena definisi – definisi tersebut dirasa
kurang memuaskan, adapun alasannya adalah orang ingin mendefinisikan terlalu
banyak sekaligus. Padahal sebuah karya sastra mempunyai hubungan yang erat
dengan situasi dan waktu penciptaannya. Terkadang definisi sastra ingin
mencakup seluruhnya, sehingga mungkin tepat untuk sebuah kurun waktu, namun
tidak untuk kurun waktu yang lain. Orang ingin mencari definisi ontologis
tentang sastra (ingin mengungkapkan hakikat sastra). Seperti diketahui, karya
sastra adalah hasil kreativitas dari masing – masing individu, sehingga tidak
mungkin menilai bahwasanya semua karya sastra adalah sama. Orientasi penilaian
sebuah karya sastra selalu berkiblat pada sastra Barat. Padahal belum tentu
kajian dalam sastra Barat sesuai dengan sastra dari wilayah lain. Terjadi
percampuran antara mendefinisikan karya sastra satu dengan lainnya. Misalnya
dalam mendefinisikan sebuah puisi terjadi kekeliruan dengan mendefinisikan
puisi tersebut sebagai karya sastra umum.
Ilmu Sastra adalah Ilmu namun apakah
Hasil dari sebuah karyanya juga adalah Ilmu? Atau hanya sebuah hasil dari
imitasi ilmu sastra itu sendiri? Untuk menjawabnya penulis mencoba mengkaji
sebuah puisi karya Robert Frost yang berjudul Fire and Ice. Dan kita bisa tahu
bagaimana peranan syarat ilmu di dalam epistemology sebuah Filsafat Ilmu dapat
membuktikan dengan jelas bahwa sebuah karya sastra, contohnya objek yang akan
penulis kaji yaitu sebuah puisi dapat di katakana ilmu, bukan hanya sebuah
imitasi dari hasil ilmu sastra itu sendiri.
BAB
II
PEMBAHASAN
Ilmu
adalah pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan berlaku umum,
sedangkan pengetahuan adalah sebuah pengalaman yang bersifat pribadi/kelompok
dan belum disusun secara sistematis karena belum dicoba dan diuji. Begitupun
dengan Ilmu Sastra.
Berbeda dengan pengetahuan,
ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab
sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu
dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Syarat-sayarat sebuah ilmu dapat di
katakana ilmu, apabila ilmu itu bersifat objektif, maksudnya suatu ilmu harus bersifat
menyeluruh dan tidak hanya dapat dilihat dari satu sudut pandang saja. Suatu
Ilmu seharusnya memiliki objek kajian yang masih beraitan dengan Ilmu itu
sendiri. Ilmu tersebut haruslah sesuai dengan kenyataan, bukan hanya sebuah
pemikiran yang belum dapat dipastikan atau di uji kebenarannya.
Kemudian, ilmu dapat di katakana ilmu
apabila ia bersifat metodis. Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di
dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan
istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Almack (1939) mengatakan bahwa metode
ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan,
pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Ilmu akan di katakana ilmu apabila
bersifat sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan
suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan
logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh,
terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat
merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Dan syarat ilmu yang terakhir adalah,
ilmu harus bersifat universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran
universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga
bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat.
Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang
dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan
manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu
sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Di dalam puisi Robert Frost yang
berjudul Fire and Ice :
Some
say the world will end in fire,
Some
say in ice.
From
what I've tasted of desire
I
hold with those who favor fire.
But
if it had to perish twice,
I
think I know enough of hate
To
say that for destruction ice
Is
also great
And
would suffice.
Dalam menulis puisi ini, Robert Frost terpengaruh
oleh ajaran agama, terutama agama Islam. Selain itu, dia juga mengakui
kebenaran ilmu pengetahuan pada saat itu.
Puisi ini menggunakan kata “and” dalam judulnya dan tidak
menggunakan kata “or”. Jika
kita baca isinya, maka seolah-olah harus diberi judul dengan menggunakan kata “or”, tetapi Robert Frost menggunakan
kata “and”, tentu memiliki alasan
yang kuat. Salah satu alasannya yang kuat adalah antara “fire” dengan “ice” bukan
merupakan suatu pilihan. Robert Frost berpikir bahwa kedua-duanya memiliki
derajat yang sama dalam mengakhiri dunia. Oleh karena itu, dua hal tadi harus
digabung dengan kata “and” bukannya
kata “or”.
Puisi ini jika dijadikan bentuk prosa,
hanya terdiri dari dua kalimat saja yaitu:
1. Some
say that the world will end in fire, and some others say that it will end in
ice.
2. From
what I ‘ve tasted of desire, I hold with those who favor in fire, but if the
world had to perish twice, I think I know enough of hate to say that the world
will end in ice because it’s also a great distruction and is enough to end the
world.
Puisi ini di katakana objektif
karena dilihat pada kalimat Some say that
the world will end in fire . Yang dimaksud “Some” dalam kalimat ini adalah “some
people”. Yang dimaksud oleh Robert Frost adalah orang-orang beragama dan
aliran kepercayaan, terutama agama Islam. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dari
sekian banyak agama dan aliran kepercayaan yang ada di dunia ini hanya agama
Islamlah yang jelas-kelas membicarakan tentang “end of the world” atau akhir zaman atau hari kiamat atau doomsday.
Dalam Al Qur’an dapat ditemukan 506 kata yang bermakna “hari kiamat”. Di
samping itu, terdapat 4 ayat dengan
judul hari kiamat dan 1 ayat yang berjudul peristiwa yang dasyat. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat penjelasan berikut:
1.
Al
Waqi’ah (hari kiamat) surat ke 56 dengan isi 96 ayat
2.
Al
Haqqoh (hari kiamat) surat ke 69 dengan isi 52 ayat
3.
Al
Qiyamah (hari kiamat) surat ke 75 dengan isi 40 ayat
4.
Al
Ghoziyah ( peristiwa yang dasyat) surat ke 88 dengan isi 26 ayat
5.
Al
Qori’ah (hari kiamat) surat ke 101 dengan isi 11 ayat
Dari
sekian banyak ayat yang ada dapat disimpulkan bahwa dunia akan mengalami kiamat
dalam keadaan panas (fire). Disebutkan bahwa gunung-gunung beterbangan,
matahari dan bumi bersatu, jadi kondisinya jelas panas bukan beku. Oleh karena
itu, “some” di sini adalah some people yang merujuk pada kaum
muslimin.
Some others say that the world will end in
ice . “Some” dalam kalimat yang ke dua ini adalah “some other people”. Yang dimaksud oleh
Robert Frost dengan “some” yang ke
dua (dalam puisi) ini adalah para ilmuwan (scientists) pada waktu itu yang
berpendapat bahwa kita itu hidup dalam tata surya di mana matahari sebagai
sumber energy utamanya. Matahari sama dengan bintang-bintang lain di langit
dengan tata suryanya masing-masing. Diketemukan bahwa ada beberapa bintang yang
mati dan ada pula bintang baru (baru lahir). Oleh karena itu, matahari kita ini
suatu saat energinya juga akan habis (mati). Kalau energinya hasis, maka akan
terjadi kebekuan di mana-mana, dan itu berarti berakhirlah system tata surya
kita yang berarti berakhirlah dunia kita ini. Kalimat ini membuktikan bahwa
puisi ini universal, bagaiamana tidak? Tidak hanya manusia beragama saja
(islam) yang mempercayai bahwa kiamat itu ada, melainkan para scientifist juga mempercayai bahwa aka nada beberapa
bintang yang mati ada pula bintang yang jatuh, dan lahirnya bintang-bintang
yang baru.
Kalimat
kedua From what I ‘ve tasted of desire, I
hold with those who favor in fire, but if the world had to perish twice, I
think I know enough of hate to say that the world will end in ice because it’s
also a great distruction and is enough to end the world. Kalimat ini dapat
dipecah menjadi :
What I ‘ve tasted of desire, I hold with
those who favor in fire. Kalimat ini berarti dari apa yang telah rasakan,
saya cenderung pada mereka yang suka (gagasannya bahwa dunia akan berakhir)
dengan api. Hal ini menunjukkan bahwa secara pribadi Robert Frost mendukung
gagasan yang pertama (fire), tetapi
selanjutnya dia mengatakan if the world
had to perish twice, I think I know enough of hate to say that the world will
end in ice because it’s also a great distruction and is enough to end the
world, ini berarti:”jika dunia ini harus binasa dua kali, saya kira saya
cukup beralasan untuk mengatakan bahwa dunia akan berakhir dalam es, karena es
juga dapat mengakibatkan kehancuran dan saya kira juga cukup untuk mengakhiri
dunia ini”. Dalam bahasa Inggris, Robert Frost menggunakan kalimat pengandaian type
2 (conditional sentence type 2) yang berarti bahwa apa yang diandaikan itu
TIDAK TERJADI. Frost sadar bahwa tidak mungkin terjadi kiamat dua kali, hanya
saja secara ilmu pengetahuan pada saat itu, dunia juga bisa binasa karena
kebekuan karena matahari sudah kehabisan energinya. Kalimat ini pun sudah jelas
menjelaskan bahwa puisi ini bersifat metodis dan sistematis. Karna adanya
kepercayaan bahwa tidak akan terjadinya kiamat susulan (kiamat kedua), karna di
yakini bahwa kiamat hanya terjadi satu kali, dan itu sudah jelas di jelaskan di
dalam Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUPAN
Dalam menulis puisi yang berjudul : “Fire and Ice”, Robert Frost mendapat
rujukan dari kaum muslimin, entah itu hanya secara lisan, atau mungkin dengan
cara membaca literatur-literatur Islam dan juga membaca penemuan-penemuan para
ahli ilmu pengetahuan pada saat itu.
Secara pribadi, dia lebih condong pada
referensi Islam, terbukti dia meletakkan kata “fire” terlebih dahulu sebelum
kata “Ice” dalam judulnya. Di samping itu, dalam mendukung pendapat para ahli
ilmu pengetahuan pada saat itu, dia menggunakan kalimat pengandaian yang tidak
mungkin terjadi yaitu: seandainya dunia harus hancur dua kali.
Menurut teorinya Horrace, sebuah puisi
tidaklah hanya bermanfaat untuk menghibur, namun puisi pun dapat memberikan
kita sebuah pengetahuan, sebuah puisi tidak hanya sebuah sumber dimana hanya
mengungkapkan semata-mata apa yang ingin ditulis pengarangm melainkan puisi
selalu memiliki maksud dan tujuan tertentu, dengan cara menyimpan makna di balik
makna. Karna puisi selalu membuat hidup menjadi lebih hidup.
REFERENSI
Pertampilan S. Brahmana,
"Sastra Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu", Jurnal
ilmiah Bahasa Dan Sastra,IV, 2, (Oktober,2008), hal. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar