Rabu, 29 Oktober 2014

PERANAN SYARAT ILMU TERHADAP PUISI “FIRE AND ICE”
KARYA ROBERT FROST
Oleh : Nisa Nadya Silmy (1211503087)
BAB I
PENDAHULUAN
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu atau pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb.  Contoh, Ilmu Sastra. Menurut Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Ilmu Sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas kesastraan dan fungsi sastra dalam masyarakat) secara umum dan sistematis. Teori Sastra merumuskan kaidah-kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum. Kegunaan Ilmu Sastra adalah membantu kita untuk mengerti teks itu secara lebih baik sehingga kita lebih tertarik untuk membaca karya-karya sastra.
Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan  kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam praktiknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.
Terdapat berbagai macam definisi mengenai sastra. Namun hingga saat ini definisi tentang sastra masih sering diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena definisi – definisi tersebut dirasa kurang memuaskan, adapun alasannya adalah orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus. Padahal sebuah karya sastra mempunyai hubungan yang erat dengan situasi dan waktu penciptaannya. Terkadang definisi sastra ingin mencakup seluruhnya, sehingga mungkin tepat untuk sebuah kurun waktu, namun tidak untuk kurun waktu yang lain. Orang ingin mencari definisi ontologis tentang sastra (ingin mengungkapkan hakikat sastra). Seperti diketahui, karya sastra adalah hasil kreativitas dari masing – masing individu, sehingga tidak mungkin menilai bahwasanya semua karya sastra adalah sama. Orientasi penilaian sebuah karya sastra selalu berkiblat pada sastra Barat. Padahal belum tentu kajian dalam sastra Barat sesuai dengan sastra dari wilayah lain. Terjadi percampuran antara mendefinisikan karya sastra satu dengan lainnya. Misalnya dalam mendefinisikan sebuah puisi terjadi kekeliruan dengan mendefinisikan puisi tersebut sebagai karya sastra umum.
Ilmu Sastra adalah Ilmu namun apakah Hasil dari sebuah karyanya juga adalah Ilmu? Atau hanya sebuah hasil dari imitasi ilmu sastra itu sendiri? Untuk menjawabnya penulis mencoba mengkaji sebuah puisi karya Robert Frost yang berjudul Fire and Ice. Dan kita bisa tahu bagaimana peranan syarat ilmu di dalam epistemology sebuah Filsafat Ilmu dapat membuktikan dengan jelas bahwa sebuah karya sastra, contohnya objek yang akan penulis kaji yaitu sebuah puisi dapat di katakana ilmu, bukan hanya sebuah imitasi dari hasil ilmu sastra itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan berlaku umum, sedangkan pengetahuan adalah sebuah pengalaman yang bersifat pribadi/kelompok dan belum disusun secara sistematis karena belum dicoba dan diuji. Begitupun dengan Ilmu Sastra.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Syarat-sayarat sebuah ilmu dapat di katakana ilmu, apabila ilmu itu bersifat objektif, maksudnya suatu ilmu harus bersifat menyeluruh dan tidak hanya dapat dilihat dari satu sudut pandang saja. Suatu Ilmu seharusnya memiliki objek kajian yang masih beraitan dengan Ilmu itu sendiri. Ilmu tersebut haruslah sesuai dengan kenyataan, bukan hanya sebuah pemikiran yang belum dapat dipastikan atau di uji kebenarannya.
Kemudian, ilmu dapat di katakana ilmu apabila ia bersifat metodis. Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Almack (1939) mengatakan bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Ilmu akan di katakana ilmu apabila bersifat sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Dan syarat ilmu yang terakhir adalah, ilmu harus bersifat universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Di dalam puisi Robert Frost yang berjudul Fire and Ice :
Some say the world will end in fire,
Some say in ice.
From what I've tasted of desire
I hold with those who favor fire.
But if it had to perish twice,
I think I know enough of hate
To say that for destruction ice
Is also great
And would suffice.
Dalam menulis puisi ini, Robert Frost terpengaruh oleh ajaran agama, terutama agama Islam. Selain itu, dia juga mengakui kebenaran ilmu pengetahuan pada saat itu. 
Puisi ini menggunakan kata “and” dalam judulnya  dan tidak menggunakan kata “or”.  Jika kita baca isinya, maka seolah-olah harus diberi judul dengan menggunakan kata “or”, tetapi Robert Frost menggunakan kata “and”, tentu memiliki alasan yang kuat. Salah satu alasannya yang kuat adalah antara “fire” dengan “ice” bukan merupakan suatu pilihan. Robert Frost berpikir bahwa kedua-duanya memiliki derajat yang sama dalam mengakhiri dunia. Oleh karena itu, dua hal tadi harus digabung dengan kata “and” bukannya kata “or”.
Puisi ini jika dijadikan bentuk prosa, hanya terdiri dari dua kalimat saja yaitu:
1.      Some say that the world will end in fire, and some others say that it will end in ice.
2.      From what I ‘ve tasted of desire, I hold with those who favor in fire, but if the world had to perish twice, I think I know enough of hate to say that the world will end in ice because it’s also a great distruction and is enough to end the world. 
                 Puisi ini di katakana objektif karena dilihat pada kalimat Some say that the world will end in fire . Yang dimaksud “Some” dalam kalimat ini adalah “some people”. Yang dimaksud oleh Robert Frost adalah orang-orang beragama dan aliran kepercayaan, terutama agama Islam. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dari sekian banyak agama dan aliran kepercayaan yang ada di dunia ini hanya agama Islamlah yang jelas-kelas membicarakan tentang “end of the world” atau akhir zaman atau hari kiamat atau doomsday. Dalam Al Qur’an dapat ditemukan 506 kata yang bermakna “hari kiamat”. Di samping itu, terdapat 4  ayat dengan judul hari kiamat dan 1 ayat yang berjudul peristiwa yang dasyat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat penjelasan berikut:
1.      Al Waqi’ah (hari kiamat) surat ke 56 dengan isi 96 ayat
2.      Al Haqqoh (hari kiamat) surat ke 69 dengan isi 52 ayat
3.      Al Qiyamah (hari kiamat) surat ke 75 dengan isi 40 ayat
4.      Al Ghoziyah ( peristiwa yang dasyat) surat ke 88 dengan isi 26 ayat
5.      Al Qori’ah (hari kiamat) surat ke 101 dengan isi 11 ayat
                  Dari sekian banyak ayat yang ada dapat disimpulkan bahwa dunia akan mengalami kiamat dalam keadaan panas (fire). Disebutkan bahwa gunung-gunung beterbangan, matahari dan bumi bersatu, jadi kondisinya jelas panas bukan beku. Oleh karena itu, “some” di sini adalah some people yang merujuk pada kaum muslimin.
                  Some others say that the world will end in ice . “Some” dalam kalimat yang ke dua  ini adalah “some other people”. Yang dimaksud oleh Robert Frost dengan “some” yang ke dua (dalam puisi) ini adalah para ilmuwan (scientists) pada waktu itu yang berpendapat bahwa kita itu hidup dalam tata surya di mana matahari sebagai sumber energy utamanya. Matahari sama dengan bintang-bintang lain di langit dengan tata suryanya masing-masing. Diketemukan bahwa ada beberapa bintang yang mati dan ada pula bintang baru (baru lahir). Oleh karena itu, matahari kita ini suatu saat energinya juga akan habis (mati). Kalau energinya hasis, maka akan terjadi kebekuan di mana-mana, dan itu berarti berakhirlah system tata surya kita yang berarti berakhirlah dunia kita ini. Kalimat ini membuktikan bahwa puisi ini universal, bagaiamana tidak? Tidak hanya manusia beragama saja (islam) yang mempercayai bahwa kiamat itu ada, melainkan para scientifist  juga mempercayai bahwa aka nada beberapa bintang yang mati ada pula bintang yang jatuh, dan lahirnya bintang-bintang yang baru.
                  Kalimat kedua From what I ‘ve tasted of desire, I hold with those who favor in fire, but if the world had to perish twice, I think I know enough of hate to say that the world will end in ice because it’s also a great distruction and is enough to end the world. Kalimat ini dapat dipecah menjadi :
                  What I ‘ve tasted of desire, I hold with those who favor in fire. Kalimat ini berarti dari apa yang telah rasakan, saya cenderung pada mereka yang suka (gagasannya bahwa dunia akan berakhir) dengan api. Hal ini menunjukkan bahwa secara pribadi Robert Frost mendukung gagasan yang pertama (fire), tetapi selanjutnya dia mengatakan if the world had to perish twice, I think I know enough of hate to say that the world will end in ice because it’s also a great distruction and is enough to end the world, ini berarti:”jika dunia ini harus binasa dua kali, saya kira saya cukup beralasan untuk mengatakan bahwa dunia akan berakhir dalam es, karena es juga dapat mengakibatkan kehancuran dan saya kira juga cukup untuk mengakhiri dunia ini”. Dalam bahasa Inggris, Robert Frost menggunakan kalimat pengandaian type 2 (conditional sentence type 2) yang berarti bahwa apa yang diandaikan itu TIDAK TERJADI. Frost sadar bahwa tidak mungkin terjadi kiamat dua kali, hanya saja secara ilmu pengetahuan pada saat itu, dunia juga bisa binasa karena kebekuan karena matahari sudah kehabisan energinya. Kalimat ini pun sudah jelas menjelaskan bahwa puisi ini bersifat metodis dan sistematis. Karna adanya kepercayaan bahwa tidak akan terjadinya kiamat susulan (kiamat kedua), karna di yakini bahwa kiamat hanya terjadi satu kali, dan itu sudah jelas di jelaskan di dalam Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUPAN
Dalam menulis puisi yang berjudul : “Fire and Ice”, Robert Frost mendapat rujukan dari kaum muslimin, entah itu hanya secara lisan, atau mungkin dengan cara membaca literatur-literatur Islam dan juga membaca penemuan-penemuan para ahli ilmu pengetahuan pada saat itu.
Secara pribadi, dia lebih condong pada referensi Islam, terbukti dia meletakkan kata “fire” terlebih dahulu sebelum kata “Ice” dalam judulnya. Di samping itu, dalam mendukung pendapat para ahli ilmu pengetahuan pada saat itu, dia menggunakan kalimat pengandaian yang tidak mungkin terjadi yaitu: seandainya dunia harus hancur dua kali. 
Menurut teorinya Horrace, sebuah puisi tidaklah hanya bermanfaat untuk menghibur, namun puisi pun dapat memberikan kita sebuah pengetahuan, sebuah puisi tidak hanya sebuah sumber dimana hanya mengungkapkan semata-mata apa yang ingin ditulis pengarangm melainkan puisi selalu memiliki maksud dan tujuan tertentu, dengan cara menyimpan makna di balik makna. Karna puisi selalu membuat hidup menjadi lebih hidup.

REFERENSI
Pertampilan S. Brahmana, "Sastra Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu", Jurnal ilmiah Bahasa Dan Sastra,IV, 2, (Oktober,2008), hal. 119


Tidak ada komentar:

Posting Komentar